(Saat Gajian Tiba) Alhamdulillah Versus Bismillah
Saat menandatangani
slip gaji di awal bulan, apa yang ada dibenak anda? Pasti ucapan syukur karena
kita akan segera bisa “melunasi” apa yang menjadi kewajiban kita, dan membayar
apa yang menjadi keinginan kita bukan?
Yapsss… Saat
menandatangani slip gaji setiap awal bulan, selalu terlontar dibibirku ucapan
syukur alhamdulillah. Tapi dimata Bapakku, ucapan tersebut ternyata “salah”.
Lhooo….. kok bisa ya?
Begini ceritanya :
suatu hari aku “disambangi” Bapak yang pensiunan ke kantor diawal bulan
(ssttts… pensiun Bapak lebih besar dari gaji yang kuterima lhooo… hehehe). Bapak
yang bersahaja melihatku ikut berdesak-desakan diantara temanku untuk
menandatangani slip gaji. Setelah selesai aku menghampiri Bapak dan bersiap
mengantar beliau untuk check up di RSUD.
Beliau berkata :
“Lhaaa,,, tandatangan kok diam aja”.
“E,,, aku udah
berucap alhamdulillah lho Pak..” : tangkisku
Bapak kembali berucap
: “Ealah,,, kalau tandatangan saat gajian itu jangan menyebut “ALHAMDULILLAH”, karena berarti kita
sudah cukup puas dengan yang kita terima saat ini, tapi coba kau ganti ucapan,
dengan untaian BISMILLAH…karena
disaat tanda tangan itu tergores, kamu berharap akan mendapat berkah dari
Allah, sehingga akan dicukupkan sampai kamu akan tandatangan kembali di bulan
depan”.
MasyaAllah… tertegunku
dibuatnya. Matur nuwun Bapak, sudah “setua” ini aku masih selalu diingatkan.
Selama ini banyak sekali langkahku yang dikoreksi Bapak dengan bahasa
sederhana, sehingga bisa langsung menghujam ke hati dan menjadi pegangan ketika
aku melangkah menghadapi dunia. Seperti saat kelas 2 SMU dulu, suatu saat aku
minta izin naik gunung Sumbing bersama teman-teman pecinta alam. Sayang sekali
izin tak kukantongi tanpa alasan yang bisa kuterima.
Jiwa pemberontak masa
remaja terpacu. Ada niatan tetap nekat “minggat” naik gunung walau izin tak
kukantongi dan bersiap dengan segala resiko yang akan kuhadapi. Sore hari
menjelang “ke-minggatan-ku”, tetiba Bapak memanggilku dan bilang : “Dari diammu Bapak tahu, modelmu takkan bisa
dicegah. Daripada kamu nekat, silahkan Bapak izinkan naik gunung, tapi jangan
pernah meninggalkan sholat yang lima waktu.”
Begitu Bapak
memberikan lampu hijau, saat itu juga nekatku hilang musnah, jiwa pemberontakku
luntur. Akhirnya diriku batal naik gunung Sumbing tanpa kemarahan. Baru setelah
kuliah, keinginan naik gunung itu beberapa kali bisa tersalurkan.
Juga kewajiban utama
seorang muslimah yakni menutup aurat. Bapak yang sering diminta fatwanya di
pengajian, belum pernah sekalipun memaksaku memakai hijab. Saat aku bekerja dan
memakai rok mini di atas lutut, Bapak tidak memarahiku. Padahal kami tinggal di
lingkungan kental suasana agamis. Dari 7 bersaudara, 5 perempuan, aku yang
paling “susah” diatur (ups…), hanya aku yang paling akhir menggunakan hijab,
itupun setelah aku menikah dan berbuntut 2 (pun sampai saat ini belum bisa
berhijab secara sempurna). Pernah suatu hari aku bertanya kenapa Bapak tidak
pernah menyuruhku berhijab?
Beliau menjawab: “Hijab
memang kewajiban, memang seharusnya harus ditutup auratmu. Tapi kalau tidak
dilaksanakan dari hati, hal itu tidak akan ada nilainya di mata Allah. Bapak
lebih senang kamu apa adanya, tapi dapat bertanggung jawab di hadapan Allah
terhadap apa yang sudah dan yang akan kamu lakukan”. Duh… sederhana
tapi daleeeeemmm bingits.
Kembali ke masalah
ucapan saat menandatangani slip gajian. “Ucapan“ baikpun bila diucapkan pada
waktu yang tidak tepat, “efeknya” tidak seheboh saat kita berucap kebaikan di waktu
yang tepat. Sejak disentil oleh Bapak, setiap gajian aku ucapkan doa sederhana
BISMILLAH “dengan menyebut Nama Allah” ternyata mampu menghidupi keluarga
kecilku selama sebulan karena kuyakin saat menandatangani slip gaji, ada kekuatan
lain yang MAHA MENCUKUPKAN. Salam.
Komentar
Posting Komentar