Perjuanganmu, Inspirasi bagi Kami


 Perjuanganmu, Inspirasi Kami

Setiap tanggal 10 November, oleh bangsa Indonesia diperingati sebagai hari Pahlawan. Banyak contoh pahlawan yang harum namanya di bumi pertiwi ini, seperti Cut Nyak Dien dan Teuku Umar dari Aceh, Pattimura dan Maria Kristina Tiahahu dari Ambon, Hasanudin dari Makassar, Sisingamangaraja XII dari Batak, Bung Tomo, Supriyadi dan ribuan pahlawan yang gugur mendahului kita dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Mereka berjuang dengan gigih tanpa pamrih hanya berharap bangsa Indonesia berdiri tegak tanpa ditindas oleh bangsa lain.

Mereka yang berjuang untuk Indonesia disebut “para pejuang” dan mereka yang gugur sebagai kusuma bangsa dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) dengan sematan gelar Pahlawan. Tapi akhir-akhir ini saya rada “gerah” dengan tata upacara pemakaman di TMP. Masih teringat berita tentara yang mati “terlilit” tali sendiri  saat latihan di laut Aceh, juga ada seorang tentara yang “terjun bebas” karena parasit  tidak mengembang. Mereka gugur dan dimakamkan di TMP.

Ahh…….entahlah saya bingung dengan definisi pahlawan ini.

Untuk menutupi galau (cielahh…) segera saya buka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Menurut KBBI, Pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanan dalam membela kebenaran atau seseorang yang gagah berani. Ooo……….... berarti para tentara yang gugur disebut pahlawan karena seorang yang gagah dan berani mati, hehehe.

Berdasarkan dari definisi KBBI tentang Pahlawan tersebut bolehlah saya menganggap Bapak “Pahlawan”!! Bukannya sok narsis namun banyak catatan tertoreh menguatkan “dugaan” bahwa Bapak saya seorang pahlawan. Mau bukti kalau Bapak Pahlawan? Yuk cekidot :

1.   Sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS), Bapak bersama Emak dengan profesi ibu rumah tangga harus berjibaku membimbing dan merawat tujuh anaknya. Bisa dibayangkan gaji PNS saat itu berapa? Bapak pensiun pada tahun 1992 dengan pensiun yang diterima sebanyak Rp.200.000,-/bulan. Meski kehidupan kami sangat sederhana, namun enam anaknya bisa menempuh pendidikan dan kuliah di Universitas Negeri (di Universitas Swasta mana sangguuuuuup?! Hanya satu kakakku yang kuliah di Universitas Swasta.). Alhamdulillah hikmah yang terpetik sekarang.  Dengan bangga dapat menceritakan bahwa buah hati Bapak bersama Emak, satu telah menjadi Doktor, tiga menyandang magister dan sisanya “hanya” sarjana. Bagi kami orang kampung yang tinggal di lereng gunung kembar SUSI, SUmbing SIndoro hal ini merupakan pencapaian yang luar biasa. Semua ini berkat dorongan pahlawan keluarga kami “Bapak dan Emak.”

2.  Dalam diam namun penuh ketegasan, Bapak meninggalkan “jejak” yang  tidak bisa dianggap sepele dalam memajukan pendidikan. Saat berdinas awal di Ambon Maluku, bersama pak Ali tokoh di sana, Bapak mendirikan Yayasan Pendidikan Islam (YPI).  Alhamdulillah menurut kabar yang kami dengar dari cucu ponakan pak Ali saat kami bertemu di Kuala Lumpur (KL), yayasan tersebut masih ada dan telah meluluskan banyak siswa.

Di kota kecil kami Parakan Kabupaten Temanggung, sebagai “pegawai pusat“ setelah tugas belajar diselesaikan bukan tak mungkin akan ditugaskan di tempat lain. Maka dengan “otak kancilnya” Bapak berupaya untuk tidak dipindahtugaskan ke daerah lain dengan jalan mendirikan sekolah Muallimat untuk perempuan yang ditempuh selama 6 tahun (setingkat SMP dan SMA sekarang) dan pendidikan guru agama (PGA) untuk laki-laki pada tahun 1967. Namun dalam pelaksanaannya setelah meninggalnya Mbah Kyai Haji Nawawi (Mbah kakung kami) Bapak agak tertatih-tatih karena tidak ada lagi dukungan Mbah kakung yang mumpuni.  Setelah rembugan dengan para tokoh di Parakan akhirnya disepakati sekolah tersebut untuk di “NEGERI”kan. Selama proses pe-negeri-an sekolah tersebut untuk mengisi waktu, Bapak “kasak-kusuk” dengan teman karibnya, Prof. Narto, Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) “Sunan Kalijaga-Yogyakarta” dan akhirnya berdirilah “SP IAIN” (Sekolah Persiapan Institut Agama Islam Negeri) di Temanggung dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan para guru agama yang telah diangkat menjadi PNS waktu itu. Seiring berjalannya waktu SP IAIN digabung dengan PGA negeri dan dijadikan Madrasah Aliyah Negeri Parakan di Temanggung. Sampai hari ini sejarah telah mencatat nama Bapak terukir sebagai “pendiri dan kepala sekolah pertama” MAN Parakan di Temanggung. Melihat sepak terjang Bapak dalam mengobarkan semangat membela kebenaran di bidang pendidikan, sepertinya Bapak layak menyandang predikat Pahlawan bagi kemajuan pendidikan di daerah.

3.  Terakhir, “ke-Pahlawanan” Bapak baru diakui oleh pemerintah di tahun 2011, itupun secara tak sengaja Kakak saya membaca pengumuman bahwa setiap veteran bisa mendapatkan jasa dana kehormatan oleh Pemerintah. Iseng saya diperintahkan mencari informasi ke Kodim Temanggung. Disana saya diarahkan untuk ke Minvet (administrasi veteran) yang berkantor di Maron-Temanggung, setelah mendapatkan informasi saya diharuskan melengkapi beberapa syarat.

Pelan saya bilang ke Bapak tentang dana kehormatan untuk veteran. Dahulu saat Bapak masih bertugas, tunjangan veteran pernah menempel di gaji tiap bulan yang bapak terima. Namun entahlah setelah ada “inpassing” tiba-tiba tunjangan veteran menghilang dan Bapak tidak berkenan mengurus lagi. Bapak selalu beranggapan bahwa sudah menjadi tugasnya sebagai warga negara harus ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan pada waktu itu, dalam ‘kamus’  Bapak pantang meminta!!

 

Surat Keterangan Veteran itu hanya dipergunakan saat kami kuliah untuk mendapatkan “Beasiswa Supersemar”, Suatu kendilalahan saat saya dan Adik hendak mengurus beasiswa Supersemar ada satu syarat tambahan yakni : surat  keterangan tidak mampu dari kelurahan dan Bapak menolak.

 

Padahal sueeeeer, waktu itu hidup kami sangat-sangat sederhana. Uang saku kuliah kami di bawah rata-rata teman seangkatan dan beasiswa itu sangat membantu Kakakku dalam menempuh perkuliahan.  Tapi sejak ada satu syarat “mengerikan” tersebut, dengan tegas Bapak menolak, walhasil saya dan Adik paling “menderita”. Hehehehe..

Tentang SK Veteran ini ada suatu cerita. Pada suatu hari kami kedatangan tamu tak diundang yang dengan ‘arogan’ memamerkan SK Veteran dan meminta sumbangan belas kasih. Dengan santun Bapak tersenyum dan berkata : “Pejuang tidak boleh meminta-minta”. Eeeeeeeeh… tamu veteran itu mencak-mencak dan dari mulutnya keluar kata yang jauh dari  sopan. Akhirnya dengan nada datar Bapak berkata : “Jangan mentang–mentang ber-SK Veteran maka anda semaunya, hanya dari golongan ‘C’ sudah bergaya. Nih saya dari golongan ‘A’ saja tidak pernah cerita kemana-mana!”, sambil menyodorkan SK Veteran Bapak.   Golongan A merupakan penghargaan tertinggi bagi para pejuang yang dalam pembela bumi pertiwi. Hikss.. si tamu langsung ‘pasi’ dan dengan terbata-bata mohon pamit. Saat berpamitan Bapak tak lupa menyelipkan sedikit uang untuk sang Veteran itu.

Kembali pada masalah kepahlawanan Bapak yang diakui Pemerintah, setelah saya bilang bahwa ini bukan tunjangan Veteran namun dana penghargaan dari pemerintah, akhirnya Bapak mengijinkan  saya mengurusnya. Alhamdulillah berkat bantuan Pak Hanafi, anggota TNI yang bertugas di Minvet Kodim Temanggung, Bapak bisa menerima dana penghargaan @ Rp.250.000,-/bulan. Dana Kehormatan bisa dicairkan dua bulan setelah kami mengurusnya pada tahun 2011 dan di-terima-kan sejak tahun 2008. Bapak bercerita jika di bulan Oktober, dana kehormatan telah dinaikkan menjadi Rp.750.000,-/bulan.  Tidak menafikan uang tersebut meringankan beban Bapak saat harus jalan-jalan ke rumahku atau ke Kakakku di Jakarta, Semarang, Lampung, maupun Kuala Lumpur, hihihi…..(keluar deh sok-nyaaa)

Bukan nilai uangnya yang saya bahas, namun penghargaan Pemerintah terhadap para Veteran yang membuat saya bahagia. Alhamdulillah dari awal Bapak selalu mendapat uang dari pemerintah berupa gaji atau pensiunan PNS. Namun bagi Veteran yang tidak mendapatkan penghasilan, uang segitu berasa “luar biasa” dalam membantu perekonomian keluarga.

Ada satu cerita yang membuat kami “nyesek dada”. Akhir Oktober lalu Bapak kedatangan tamu dari Legium Veteran yang memberikan surat “Pilihan Hidup” buat Bapak. Dalam surat tersebut Bapak diminta kelak jika Bapak meninggal untuk memilih dimakamkan di Taman Makam Pahlawan atau mendapat penghormatan tembakan salvo atau keranda ditutupi bendera Merah Putih. Seperti biasa Bapak tidak memilih apapun dari tiga pilihan tersebut, namun akhirnya Bapak memilih yang nomor tiga yakni ditutupi bendera Merah Putih. Setelah tamu pulang Bapak tertawa dan berkata : “Kematian itu sunatullah, urusan penguburan itu urusan yang masih hidup. Tak ada satu manusiapun mengetahui akan meninggal di belahan bumi mana.”

Dari urusan kematian adalah rahasia Allah meluncurlah nostalgia yang indah. Saat Bapak harus memanggul senjata untuk melawan Belanda di daerah Petirejo Ngadirejo di serangan umum bersama 3 orang ada tanda Belanda datang. Teman Bapak yang bernama Pak Karjo berteriak untuk segera tiarap. Bapak tetap berdiri dan tetiba ada granat jatuh tepat di depan Bapak. Alhamdulillah granat tangan itu hanya berdesis saja. Sementara pak Karjo dan satu temannya yang tiarap malah tertembak lengan kanan dan paha kirinya. Setelah Belanda pergi, Bapak dan satu temannya harus memanggul temannya yang tertembak tersebut. Awal mula Bapak bergabung Tentara Hisbullah Parakan pada zaman pendudukan Jepang. Para pemuda dilatih menjadi Sainendan (untuk pemuda usia 13 tahun) dan Keibodan (untuk laki-laki dewasa). Seiring berjalannya waktu Hisbullah bergabung dengan BMT Barisan Muslimin Temanggung di bawah pimpinan Kyai Haji Subhi dan Kyai Haji Nawawi (Mbah Kakung). Setelah Jepang pergi, Bapak menuntut ilmu di Perguruan Al Iman Magelang. Saat itu sekitar tahun 1948 Belanda datang ke Indonesia dan mau tak mau Bapak harus pulang ke Ngadirejo. Perlu 5 hari berjalan dari Magelang ke Ngadirejo bersama dengan 4 perempuan teman sekolahnya.

Saat pendudukan Belanda, setelah pulang dari Magelang Bapak kembali bergabung dengan Hisbullah Ngadirejo pimpinan Bapak Kandar. Untuk menghadapi penjajah Belanda ada cerita yang menyesakkan dada. Tentara Hisbullah dalam berperang melawan Belanda yang bersenjata lengkap dengan Canon, Grand dan persenjataan modern lainnya harus berjibaku hanya dengan 11 senjata. Itupun didapat dari para tentara Hisbullah yang rela berkorban harta dan jiwa. Bapak ikut menyumbang satu senapan seharga satu kuda yang dijual hanya untuk menebus senjata tersebut. Dan setelah senjata terbeli kemudian diserahkan ke Hizbullah untuk digunakan secara bergantian.

Juga mengalir kisah setelah sekian lama bergabung dengan Tentara Hisbullah, Bapak tetiba kangen Simbok dan nekat pulang ke rumah. Saat tiba dirumah dan sedang di dapur, mendadak Belanda datang di kampung. Bapak hanya berdiam diri di pojok dapur, diantara kayu bakar dan dari balik-bilik melihat tetangga depan Pak Dul Kahar di lempar Belanda ke dalam truk. Alhamdulillah Allah masih melindungi Bapak. Padahal waktu itu, Belanda sedang gencar mencari para pemuda untuk kemudian di bunuh di jembatan Progo. Ada lagi satu kisah bahwa kematian adalah rahasia Allah, bagaimana Bapak dan teman teman yang berperang, berhadapan langsung dengan Belanda bisa “terbebas” dari senjata, sementara 22 warga yang baru pulang dari pasar tewas di hantam canon yang ditembakkan Belanda dari Parakan. Innalillahi wa inna illahi rojiun.  Dan nikmat manalagi yang engkau dustakan….

Saat ini di usia ke 87, Bapak masih bisa menikmati hidup dengan memberikan wejangan-wejangan kecil di musholla belakang rumah, masih bisa membaca Alquran atau koran tanpa memakai kacamata dan masih sanggup bepergian kemanapun yang diinginkan. Hanya saja “Sunatullah” telah berkata pendengarannya telah jauh berkurang, dan kadang menjadi kendala Bapak dalam berkomunikasi dengan orang lain.

Kini kami hanya bisa mensyukuri bahwa pahlawan kami “Bapak”, masih bisa menikmati kemerdekaan yang diperebutkan bersama TENTARA HIZBULLAH dengan desingan peluru, tetesan darah dan air mata. Berhadapan langsung mengusir penjajah dari bumi pertiwi di masa Class dengan Belanda.

Hari ini di tanggal Sepuluh November kami hanya bisa berucap : Selamat Hari Pahlawan Bapak dan seluruh pejuang yang telah gugur mendahului kita dalam mempertahankan bumi pertiwi dari cengkeram para penjajah negeri.

Setiap tanggal 10 Nopember, oleh bangsa Indonesia diperingati sebagai hari Pahlawan. Banyak contoh pahlawan yang harum namanya di bumi pertiwi ini seperti Cut Nyak Dien dan Teuku Umar dari Aceh, Pattimura dan Maria Kristina Tiahahu dari Ambon, Hasanudin dari Makassar, Sisingamangaraja XII dari Batak, Bung Tomo, Supriyadi dan ribuan pahlawan yang gugur mendahului kita dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Mereka berjuang dengan gigih tanpa pamrih hanya berharap bangsa Indonesia berdiri tegak tanpa ditindas oleh bangsa lain. Mereka yang berjuang untuk Indonesia disebut “para pejuang” dan mereka yang gugur sebagai kusuma bangsa di makamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) dengan sematan gelar Pahlawan. Tapi akhir-akhir ini saya rada “gerah” dengan tata upacara pemakaman di TMP. Masih teringat berita tentara yang mati “terlilit” tali sendiri saat latihan di laut Aceh, juga ada seorang tentara yang “terjun bebas” karena parasit tidak mengembang. Mereka gugur dan dimakamkan di TMP. Ahh…….entahlah saya bingung dengan definisi pahlawan ini. Untuk menutupi galau (cielahh…) segera saya buka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Menurut KBBI Pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanan dalam membela kebenaran atau seseorang yang gagah berani. Ooo……….... berarti para tentara yang gugur disebut pahlawan karena seorang yang gagah dan berani mati, hehehe. Berdasar dari definisi KBBI tentang Pahlawan tersebut bolehlah saya menganggap Bapak “Pahlawan”!! Bukannya sok narsis namun banyak catatan tertoreh menguatkan “dugaan” bahwa Bapak saya seorang pahlawan. Mau bukti kalau Bapak Pahlawan? Yuk cekidot : 1. Sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS), Bapak bersama eMak dengan profesi ibu rumah tangga harus berjibaku membimbing dan merawat tujuh anaknya. Bisa dibayangkan gaji PNS saat itu berapa? Bapak pensiun pada tahun 1992 dengan pensiun yang diterima sebanyak Rp.200.000,-/bulan. Meski kehidupan kami sangat sederhana, namun enam anaknya bisa menempuh pendidikan dan kuliah di universitas negeri (di Universitas swasta mana sangguuuuuup?! Hanya satu kakakku yang kuliah di universitas swasta.). Alhamdulillah hikmah yang terpetik sekarang. Dengan bangga dapat menceritakan bahwa buah hati Bapak bersama eMak, satu telah menjadi doktor, tiga menyandang magister dan sisanya “hanya” sarjana. Bagi kami orang kampung yang tinggal di lereng gunung kembar SUSI, SUmbing SIndoro hal ini merupakan pencapaian yang luar biasa. Semua ini berkat dorongan pahlawan keluarga kami “Bapak dan eMak.” 2. Dalam diam namun penuh ketegasan, Bapak meninggalkan “jejak” yang tidak bisa dianggap sepele dalam memajukan pendidikan. Saat berdinas awal di Ambon Maluku, bersama pak Ali tokoh di sana, Bapak mendirikan Yayasan Pendidikan Islam (YPI). Alhamdulillah menurut kabar yang kami dengar dari cucu ponakan pak Ali saat kami bertemu di Kuala Lumpur (KL), yayasan tersebut masih ada dan telah meluluskan banyak siswa. Di kota kecil kami Parakan Kabupaten Temanggung, Bapak mendirikan sekolah Muallimat untuk perempuan yang ditempuh selama 6 tahun (setingkat SMP dan SMA sekarang) dan pendidikan guru agama (PGA) untuk laki-laki pada tahun 1967. Namun dalam pelaksanaannya setelah meninggalnya mbah Kyai Haji Nawawi (mbah kakung kami) Bapak agak tertatih-tatih karena tidak ada lagi dukungan Mbah kakung yang mumpuni. Setelah rembugan dengan para tokoh di Parakan akhirnya disepakati sekolah tersebut untuk di “NEGERI”kan. Selama proses penegerian sekolah tersebut untuk mengisi waktu, Bapak “kasak-kusuk” dengan teman karibnya Prof Narto Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) “Sunan Kalijaga-Yogyakarta” dan akhirnya berdirilah “SP IAIN” (Sekolah Persiapan Institut Agama Islam Negeri) di Temanggung dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan para guru agama yang telah diangkat menjadi PNS waktu itu. Seiring berjalannya waktu SP IAIN digabung dengan PGA negeri dan dijadikan Madrasah Aliyah Negeri Parakan di Temanggung. Sampai hari ini sejarah telah mencatat nama Bapak terukir sebagai “pendiri dan kepala sekolah pertama” MAN Parakan di Temanggung. Melihat sepak terjang Bapak dalam mengobarkan semangat membela kebenaran di bidang pendidikan, sepertinya Bapak layak menyandang predikat Pahlawan bagi kemajuan pendidikan di daerah. 3. Terakhir, “ke-Pahlawanan” Bapak baru diakui oleh pemerintah di tahun 2011, itupun secara tak sengaja kakak saya membaca pengumuman bahwa setiap veteran bisa mendapatkan jasa dana kehormatan oleh Pemerintah. Iseng saya diperintahkan mencari informasi ke Kodim Temanggung. Disana saya diarahkan untuk ke Minvet (administrasi veteran) yang berkantor di Maron-Temanggung, setelah mendapatkan informasi saya diharuskan melengkapi beberapa syarat. Pelan saya bilang ke Bapak tentang dana kehormatan untuk veteran. Dahulu saat Bapak masih bertugas, tunjangan veteran pernah menempel di gaji tiap bulan yang bapak terima. Namun entahlah setelah ada “inpassing” tiba-tiba tunjangan veteran menghilang dan Bapak tidak berkenan mengurus lagi. Bapak selalu beranggapan bahwa sudah menjadi tugasnya sebagai warga negara harus ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan pada waktu itu, dalam ‘kamus’ Bapak pantang meminta!! Surat Keterangan Veteran itu hanya dipergunakan saat kami kuliah untuk mendapatkan “beasiswa Supersemar”, Suatu kendilalahan saat saya dan adik hendak mengurus beasiswa Supersemar ada satu syarat tambahan yakni: surat keterangan tidak mampu dari kelurahan dan Bapak menolak. Padahal sueeeeer, waktu itu hidup kami sangat-sangat sederhana. Uang saku kuliah kami di bawah rata-rata teman seangkatan dan beasiswa itu sangat membantu kakakku dalam menempuh perkuliahan. Tapi sejak ada satu syarat “mengerikan” tersebut, dengan tegas Bapak menolak wal hasil saya dan adik paling “menderita”. hehehehe….. Tentang SK Veteran ini ada suatu cerita. Pada suatu hari kami kedatangan tamu tak diundang yang dengan ‘arogan’ memamerkan SK veteran dan meminta sumbangan belas kasih. Dengan santun Bapak tersenyum dan berkata : “Pejuang tidak boleh meminta-minta”. Eeeeeeeeh… tamu veteran itu mencak-mencak dan dari mulutnya keluar kata yang jauh dari sopan. Akhirnya dengan nada datar Bapak berkata : “Jangan mentang –mentang ber-SK veteran maka anda semaunya, hanya dari golongan ‘C’ sudah bergaya. Nih saya dari golongan ‘A’ saja tidak pernah cerita kemana-mana!”, sambil menyodorkan SK veteran Bapak. Golongan A merupakan penghargaan tertinggi bagi para pejuang yang dalam pembela bumi pertiwi.Hiks.. si tamu langsung ‘pasi’ dan dengan terbata-bata mohon pamit. Saat berpamitan Bapak tak lupa menyelipkan sedikit uang untuk sang veteran itu. Kembali pada masalah kepahlawanan Bapak yang diakui Pemerintah, setelah saya bilang bahwa ini bukan tunjangan veteran namun dana penghargaan dari pemerintah, akhirnya Bapak mengijinkan saya mengurusnya. Alhamdulillah berkat bantuan pak Hanafi, anggota TNI yang bertugas di Minvet Kodim Temanggung, Bapak bisa menerima dana penghargaan @ Rp.250.000,-/bulan. Dana Kehormatan bisa dicairkan dua bulan setelah kami mengurusnya pada tahun 2011 dan di terimakan sejak 2008. Bapak bercerita jika di bulan Oktober Dana Kehormatan telah dinaikkan menjadi Rp.750.000,-/bulan. Tidak menafikan uang tersebut meringankan beban Bapak saat harus jalan-jalan ke rumahku atau ke kakakku di Jakarta, Semarang, Lampung, maupun Kuala Lumpur, hihihi…..(keluar deh sok-nyaaa) Bukan nilai uangnya yang saya bahas, namun penghargaan Pemerintah terhadap para veteran yang membuat saya bahagia. Alhamdulillah dari awal Bapak selalu mendapat uang dari pemerintah berupa gaji atau pensiunan PNS. Namun bagi veteran yang tidak mendapatkan penghasilan, uang segitu berasa “luar biasa” dalam membantu perekonomian keluarga. Ada satu cerita yang membuat kami “nyesek dada”. Akhir Oktober lalu Bapak kedatangan tamu dari Legium veteran yang memberikan surat “Pilihan Hidup” buat Bapak. Dalam surat tersebut Bapak diminta kelak jika Bapak meninggal untuk memilih di Makamkan di Taman Makam Pahlawan atau mendapat penghormatan tembakan salvo atau keranda ditutupi bendera Merah Putih. Seperti biasa Bapak tidak memilih apapun dari tiga pilihan tersebut, namun akhirnya Bapak memilih yang nomor tiga yakni di tutupi bendera merah Putih. Setelah tamu pulang Bapak tertawa dan berkata : “Kematian itu sunatullah, urusan penguburan itu urusan yang masih hidup. Tak ada satu manusiapun mengetahui akan meninggal di belahan bumi mana.”. Dari urusan kematian adalah rahasia Allah meluncurlah nostalgia yang indah. Saat Bapak harus memanggul senjata untuk melawan Belanda di daerah Petirejo Ngadirejo di serangan umum bersama 3 orang ada tanda Belanda datang. Teman Bapak yang bernama Pak Karjo berteriak untuk segera tiarap. Bapak tetap berdiri dan tetiba ada granat jatuh tepat di depan Bapak. Alhamdulillah granat tangan itu hanya berdesis saja. Sementara pak Karjo dan satu temannya yang tiarap malah tertembak lengan kanan dan paha kirinya. Setelah Belanda pergi, Bapak dan satu temannya harus memanggul temannya yang tertembak tersebut. Awal mula Bapak bergabung Tentara Hisbullah Parakan pada jaman pendudukan Jepang. Para pemuda dilatih menjadi Sainendan (untuk pemuda usia 13 tahun ) dan Keibodan (untuk laki laki dewasa). Seiring berjalannya waktu Hisbullah bergabung dengan BMT Barisan Muslimin Temanggung di bawah pimpinan Kyai Haji Subhi dan Kyai Haji Nawawi (mbah Kakung). Setelah Jepang pergi, Bapak menuntut ilmu di Perguruan Al Iman Magelang. Saat itu sekitar tahun 1948 Belanda datang ke Indonesia dan mau tak mau Bapak harus pulang ke Ngadirejo. Perlu 5 hari berjalan dari Magelang ke Ngadirejo bersama dengan 4 perempuan teman sekolahnya. Saat pendudukan Belanda, setelah pulang dari Magelang Bapak kembali bergabung dengan Hisbullah Ngadirejo pimpinan Bapak Kandar. Untuk menghadapi penjajah Belanda ada cerita yang menyesakkan dada. Tentara Hisbullah dalam berperang melawan Belanda yang bersenjata lengkap dengan Canon, Grand dan persenjataan modern lainnya harus berjibaku hanya dengan 11 senjata. Itupun didapat dari para tentara Hisbullah yang rela berkorban harta dan jiwa. Bapak ikut menyumbang satu senapan seharga satu kuda yang dijual hanya untuk menebus senjata tersebut. Dan setelah senjata terbeli kemudian diserahkan ke Hizbullah untuk digunakan secara bergantian. Juga mengalir kisah setelah sekian lama bergabung dengan Tentara Hisbullah, Bapak tetiba kangen simbok dan nekat pulang ke rumah. Saat tiba dirumah dan sedang di dapur, mendadak Belanda datang di kampung. Bapak hanya berdiam diri di pojok dapur, diantara kayu bakar dan dari balik bilik melihat tetangga depan Pak Dul Kahar di lempar Belanda ke dalam truk. Alhamdulillah Allah masih melindungi Bapak. Padahal waktu itu, Belanda sedang gencar mencari para pemuda untuk kemudian di bunuh di jembatan Progo. Ada lagi satu kisah bahwa kematian adalah rahasia Allah, bagaimana Bapak dan teman teman yang berperang, berhadapan langsung dengan Belanda bisa “terbebas” dari senjata, sementara 22 warga yang baru pulang dari pasar tewas di hantam canon yang ditembakkan Belanda dari Parakan. Innalillahi wa inna illahi rojiun. Dan nikmat manalagi yang engkau dustakan…. Saat ini di usiake 87, Bapak masih bisa menikmati hidup dengan memberikan wejangan-wejangan kecil di musolla belakang rumah, masih bisa membaca al’Quran atau koran tanpa memakai kacamata dan masih sanggup bepergian kemanapun yang diinginkan. Hanya saja “Sunatullah” telah berkata pendengarannya telah jauh berkurang, dan kadang menjadi kendala Bapak dalam berkomunikasi dengan orang lain. Kini kami hanya bisa mensyukuri bahwa pahlawan kami “Bapak”, masih bisa menikmati kemerdekaan yang diperebutkan bersama TENTARA HIZBULLAH dengan desingan peluru, tetesan darah dan air mata. Berhadapan langsung mengusir penjajah dari bumi pertiwi di masa Class dengan Belanda. Hari ini di tanggal Sepuluh Nopember kami hanya bisa berucap : Selamat Hari Pahlawan Bapak dan seluruh pejuang yang telah gugur mendahului kita dalam mempertahankan bumi pertiwi dari cengkeram para penjajah negeri.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/idamoerid/perjuanganmu-inspirasi-kami_56413216bb937329048b4567

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

(L)GBT HADIR KEMBALI

Belajar pada Alam