Cerita Perempuan Dalam Antologi (Puisi) Progo Tiga


Bermula dari semangat penyair-penyair muda yang berserak di pelosok Temanggung, satu-persatu mereka berkumpul dan dihimpun oleh penyair senior Roso Titi Sarkoro dan Ariadi Rasidi dalam sebuah komunitas Keluarga Studi Sastra Tiga Gunung, hari Sabtu tanggal 23 Mei 2015 bertempat di Pendopo Pengayoman yang megah telah meluncurkan sebuah Antologi Puisi berjudul Progo 3. Yang istimewa dari Antologi Puisi ini adalah memberikan wadah untuk mengembangkan diri bagi sembilan belas penulis perempuan di antara tigapuluh delapan penyair kawakan dan pemula yang terangkum dalam Antologi Puisi Progo 3 ini. Sebuah pencapaian yang luar biasa untuk kota kecil Temanggung melahirkan sebuah karya seni sastra dengan mengapresiasi perempuan untuk ikut berpartisipasi.
 Ahahay... Aku Jadi Penulis Keren lhooooo.

Membaca dari berbagai literatur, karya sastra adalah ungkapan pribadi manusia berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran kehidupan, yang dapat membangkitkan pesona dengan alat bahasa dan dilukiskan dalam bentuk tulisan. Jakop Sumardjo dalam bukunya yang berjudul "Apresiasi Kesusastraan" (Sumardjo, Jakob, dan Saini K.M. 1994. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama dalam situs www.pelitaku.com) mengatakan bahwa karya sastra adalah sebuah usaha merekam isi jiwa sastrawannya. Rekaman ini menggunakan alat bahasa. Sastra adalah bentuk rekaman dengan bahasa yang akan disampaikan kepada orang lain.

Tentang antologi ini mengapa berjudul Progo 3? Karena sebagai lanjutan “episode” antologi yang pernah diterbitkan oleh angkatan sebelumnya. Progo 1 diterbitkan pada tahun 1993 oleh “Wadista” dan Progo 2 (1998). Kata Progo itu itu sendiri diangkat dari nama sungai Progo yang bermata air dari lereng Gunung Sindoro, membelah kota Temanggung, melintasi kota Magelang serta Yogyakarta untuk kemudian bermuara di laut selatan.


Dari berbagai literatur, sungai atau warga menyebutnya Kali Progo menjadi saksi bisu sejarah perjuangan rakyat Temanggung dalam perang kemerdekaan (1948 -1949). Kali Progo memerah saat itu. Tak kurang dari 1.500 jiwa pejuang dan rakyat gugur di atas jembatan kali Progo Kranggan, Temanggung oleh para serdadu Belanda dan anteknya. Mereka ditangkap tanpa mengetahui letak kesalahannya, dibunuh secara massal dengan cara diikat tangan, ditutup mata, dan disuruh berjejer menghadap ke sungai Progo, lantas ditembak dan sebagian disembelih oleh tentara Belanda. Terinspirasi dari peristiwa merah berdarah itulah sejumlah puisi tercipta dan diabadikan dalam sebuah antologi.

Peluncuran Antologi Puisi Progo 3 diawali dengan bedah buku oleh Dra. Dad Nia Samsihono M Hum, dari badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Jakarta, dengan moderator Gunoto Sapari, seorang penyair, kritikus sastra dan anggota Dewan Kesenian Jawa Tengah. Dalam bedah buku dikatakan, antologi puisi ini masih banyak “rancu” dengan menggunakan kosakata yang tidak mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ketika antologi ini diluncurkan, sudah pasti akan dibaca oleh masyarakat dan kemungkinan besar akan menjadi acuan atau referensi bagi anak didik yang sedang belajar menulis sastra. Ketika para penyair menggunakan kosakata yang salah dan dijadikan referensi, maka penulis akan “menanggung dosa” atas kesalahan yang dibuat pada si anak didik. Sebagai contoh masih banyak penyair yang menggunakan kata “nafas” dan tidak menggunakan “napas” seperti kaidah dalam KBBI. Hal ini ditemukan pada puisi “Aku Harus Berhenti di Sini” (halaman 127) dan pada puisi “Jejak Pagi di Kotaku” (halaman 324).

 14326874961098645651
Bu Nia Samsihono mengatakan bahwa puisi adalah bahasa hati. Namun meskipun merangkai kata menjadi untaian kata indah untuk melukiskan perasaan di sanubari, tetap harus berpedoman pada ejaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dalam antologi tersebut beliau masih banyak menemukan kosa kata dari bahasa daerah masuk ke dalam puisi.

Menyitir ucapan Gunawan Muhammad, “seorang penyair yang masih memasukkan bahasa daerah ke dalam puisi, maka dikatakan bahwa penyair itu belum bisa berbahasa Indonesia yang baik dan benar”.

Ibu Nia Samsihono juga menemukan kosa kata baru “kekes” dan “jekut” pada puisi “Tuhan Telah Menegurku” (hal. 7) dalam Antologi Progo3 ini. Kekes dalam bahasa Jawa menggambarkan suasana dingin menusuk tulang, biasanya hanya di daerah pegunungan. Juga kata “jekut” mempunyai makna yang hampir sama dingin menggigit tulang.

Oleh Ibu Nia Samsihono, kata tersebut akan dipelajari dan kemungkinan akan dimasukkan ke dalam kosakata baru berpedoman pada Tesaurus Bahasa Indonesia dengan studi ilmiah terlebih dahulu. Namun secara garis besar, beliau mengapresiasi peluncuran Antologi Progo 3 ini sebagai tonggak kebangkitan angkatan muda Sastrawan Temanggung dan tidak menganggap enteng atas keberadaan Keluarga Sastra Seni 3 Gunung ini.

Dalam progo 3 ini sebagian penulis mengangkat kearifan lokal Temanggung dengan makanan khasnya berupa empis-empis seperti dalam puisi “Simponi Empis-empis” (hal 5), harapan perempuan Temanggung seperti tersirat dalam puisi “Perempuan Berkalung Syair” (hal. 280) dan tentu saja sebagian penulis ingin memamerkan wisata di kota Temanggng seperti keberadaan Curug Surodipo, Posong dengan pesona wisata saat matahari terbit, Situs Liyangan dengan temuan budaya Mataram Kuno, menggambarkan keelokan gunung Sumbing Sindoro dengan rangkaian kata indah, sehingga seorang yang membaca puisi ini tergugah ingin mengunjunginya.

Hanya sayangnya, acara peluncuran antologi puisi sebagus itu kurang mendapat tempat di hati masyarakat Temanggung. Dengan mengangkat kearifan lokal, diharapkan dapat menjadi acuan bagi guru bahasa dan seni untuk mengembangkan kreatifitas seni sastra anak didiknya. Dari undangan yang disebar untuk para guru, hanya 10 % guru bahasa dan seni yang berkenan hadir pada peluncuran Antologi Puisi tersebut. Justru masyarakat pecinta sastra dari luar Temanggung yang berbondong bondong hadir dan menikmati acara tersebut. Bahkan ada beberapa peserta yang berharap, semoga acara yang diselenggarakan oleh Keluarga Studi Sastra 3 Gunung (KSS3G) Kabupaten Temanggung agar menjadi agenda rutin sehingga bisa menambah wawasan bagi beliau sebagai pendidik.

Bergabung di blog rame-rame Kompasiana, mempertemukanku dengan penyair senior mbak Selsa yang menawariku gabung di antologi puisi Progo 3 ini. Suatu kehormatan yang tak terkira, meskipun hanya untuk penyair lokal, tapi sesuatuuuu bingits aku ditawarin ikut antologi. Seperti biasa, bermodal nekat aku kirim seluruh puisiku dan ternyataaa…. 5 puisiku “diterima dengan akal sehat” oleh para editor. Lebih membahagiakanku, seseorang yang pertamakali “menjerembabkan” diriku ke Fiksiana, si Putri Apriani pun berkontribusi di Antologi Progo 3 ini. Walhasil tiga kompasianer keren ….“uhukkk”…. berkolaborasi dan menyatu dalam Antologi Puisi Progo 3 ini. Terima kasih mbak Selsa, Pak Ariadi Rasidi dan Pak Roso Titi Sarkoro yang “menyeretku” bergabung di Keluarga Studi Sastra Tiga Gunung Kabupaten Temanggung sehingga mempunyai karya nyata yang akan berbicara hingga tujuh turunan. Cielaahhh….


Meskipun dengan dana terbatas, acara ini bisa terselenggara berkat dukungan dari Bakti budaya Djarum Foundatioin dan Pemda Kabupaten Temanggung serta semangat juang dari para penyair muda yang tergabung dalam Keluarga Studi Sastra 3 gunung mampu menancapkan bakti dan karya nyata untuk Temanggung pada khususnya dan masyarakat Jawa Tengah pada umumnya.

Entah dimana letak kesalahannya. Jauh hari sebelum pelaksanaan bedah buku, undangan sudah disebar panitia ke seluruh sekolah di Temanggung. Namun hanya beberapa yang bisa hadir di acara tersebut. Kami hanya berharap, semoga Pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan Kabupaten Temanggung mengapresiasi dan mendukung penuh peluncuran Antologi Puisi Progo 3 ini, dengan memberikan semacam instruksi yang mewajibkan seluruh sekolah tingkat SMP dan SMU se-kabupaten Temanggung agar menjadikan Antologi Puisi Progo 3 ini menjadi referensi di sekolah. Serta mengharapkan peran Perpustakaan Daerah Kabupaten Temanggung sebagai wadah pembelajaran dan tempat rekreasi bagi para penikmat sastra agar menyediakan sebanyak mungkin Antologi Puisi Progo 3 di perpustakaan daerah dan turut serta mendistribusikan ke perpustakaan sekolah atau perpustakaan desa sehingga masyarakat Temanggung dapat menikmati karya sastra yang tengah menggeliat di Temanggung.


Malam harinya, rangkaian acara peluncuran Antologi Puisi Progo 3 dilanjutkan dengan Gelar Seni Tiga Gunung persembahan dari Keluarga Studi Satra Tiga Gunung. Salam budaya.

Awalnya artikel ini memakai judul "Cerita Perempuan dalam Antologi Puisi "Progo 3". Ternyata beraaaaattt banget, jadi judulnya diubah dikit, biar rada rada gimanaaaa gitu deh! Selamat membaca ulasan acak adul ini. Bermula dari semangat penyair - penyair muda yang berserak di pelosok Temanggung, satu persatu mereka berkumpul dan dihimpun oleh penyair senior Roso Titi Sarkoro dan Ariadi Rasidi dalam sebuah komunitas Keluarga Studi Sastra Tiga Gunung, hari Sabtu tanggal 23 Mei 2015 bertempat di Pendopo Pengayoman yang megah telah meluncurkan sebuah antologi puisi berjudul Progo 3. Yang istimewa dari Antologi puisi ini memberikan wadah untuk mengembangkan diri bagi sembilan belas penulis perempuan di antara tigapuluh delapan penyair kawakan dan pemula yang terangkum dalam antologi puisi Progo 3 ini. Sebuah pencapaian yang luar biasa untuk kota kecil Temanggung melahirkan sebuah karya seni sastra dengan mengapresiasi perempuan untuk ikut berpartisipasi. Membaca dari berbagai literatur, karya sastra adalah ungkapan pribadi manusia berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran kehidupan, yang dapat membangkitkan pesona dengan alat bahasa dan dilukiskan dalam bentuk tulisan. Jakop Sumardjo dalam bukunya yang berjudul "Apresiasi Kesusastraan" (Sumardjo, Jakob, dan Saini K.M. 1994. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama dalam situs www.pelitaku.com) mengatakan bahwa karya sastra adalah sebuah usaha merekam isi jiwa sastrawannya. Rekaman ini menggunakan alat bahasa. Sastra adalah bentuk rekaman dengan bahasa yang akan disampaikan kepada orang lain. Tentang antologi ini mengapa berjudul Progo 3, karena sebagai lanjutan “episode” antologi yang pernah diterbitkan oleh angkatan sebelumnya. Progo 1 diterbitkan pada tahun 1993 oleh “Wadista” dan Progo 2 (1998). Kata Progo itu itu sendiri diangkat dari nama sungai Progo yang bermata air dari lereng gunung Sindoro, membelah kota Temanggung, melintasi kota Magelang serta Yogyakarta untuk kemudian bermuara di laut selatan. Dari berbagai literatur, sungai atau warga menyebutnya Kali Progo menjadi saksi bisu sejarah perjuangan rakyat Temanggung dalam perang kemerdekaan (1948 -1949). Kali Progomemerah saat itu. Tak kurang dari 1.500 jiwa pejuang dan rakyat gugur di atas jembatan kali Progo Kranggan – Temanggung oleh para serdadu Belanda dan anteknya. Mereka ditangkap tanpa mengetahui letak kesalahannya, di bunuh secara massal dengan cara diikat tangan, ditutup mata, dan disuruh berjejer menghadap ke sungai Progo, lantas di tembak dan sebagian disembelih oleh tentara Belanda. Terinspirasi dari peristiwa merah berdarah itulah sejumlah puisi tercipta dan diabadikan dalam sebuah antologi. Peluncuran Antologi Puisi Progo 3 diawali dengan bedah buku oleh Dra. Dad Nia Samsihono M Hum, dari badan Pengembangan dan Pembinaan bahasa Jakarta, dengan moderator Gunoto Sapari, seorang penyair, kritikus sastra dan anggota Dewan Kesenian Jawa Tengah. Dalam bedah buku dikatakan, antologi puisi ini masih banyak “rancu” dengan menggunakan kosakata yang tidak mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ketika antologi ini diluncurkan, sudah pasti akan dibaca oleh masyarakat dan kemungkinan besar akan menjadi acuan atau referensi bagi anak didik yang sedang belajar menulis sastra. Ketika para penyair menggunakan kosakata yang salah dan dijadikan referensi, maka penulis akan “menanggung dosa” atas kesalahan yang dibuat pada si anak didik. Sebagai contoh masih banyak penyair yang menggunakan kata “nafas” dan tidak menggunakan “napas” seperti kaidah dalam KBBI. Hal ini ditemukan pada puisi “Aku Harus Berhenti Disini” (halaman 127) dan pada puisi “ Jejak Pagi di Kotaku” (halaman 324). 14326874961098645651 Ketua KSS3G Roso Titi, Bu Nia Samsihono, Gunoto Sapari, dan 2 penyair senior Bu Nia Samsihono mengatakan bahwa puisi adalah bahasa hati. Namun meskipun merangkai kata menjadi untaian kata indah untuk melukiskan perasaan di sanubari, tetap harus berpedoman pada ejaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dalam antologi tersebut beliau masih banyak menemukan kosa kata dari bahasa daerah masuk ke dalam puisi. Menyitir ucapan Gunawan Muhammad, “seorang penyair yang masih memasukkan bahasa daerah ke dalam puisi, maka dikatakan bahwa penyair itu belum bisa berbahasa Indonesia yang baik dan benar”. 14326875621783690421 Penampilan penyair senior Ariadi Rasidi Ibu Nia Samsihono juga menemukan kosa kata baru “kekes” dan “jekut” pada puisi “Tuhan Telah menegurku”. (hal, 7) dalam antologi Progo3 ini. Kekes dalam bahasa Jawa menggambarkan suasana dingin menusuk tulang, biasanya hanya di daerah pegunungan. Juga kata “jekut” mempunyai makna yang hampir sama dingin menggigit tulang. Oleh bu Nia Samsihono, kata tersebut akan dipelajari dan kemungkinan akan dimasukkan ke dalam kosakata baru berpedoman pada Tesaurus Bahasa Indonesia dengan studi ilmiah terlebih dahulu. Namun secara garis besar, beliau mengapresiasi peluncuran Antologi Progo 3 ini sebagai tonggak kebangkitan angkatan muda Sastrawan Temanggung dan tidak menganggap enteng atas keberadaan Keluarga Sastra Seni 3 Gunung ini. Dalam progo 3 ini sebagian penulis mengangkat kearifan lokal Temanggung dengan makanan khasnya berupa empis - empis seperti dalam puisi “Simponi Empis - Empis” (hal 5), harapan perempuan Temanggung seperti tersirat dalam puisi “Perempuan Berkalung syair” (hal,280) dan tentu saja sebagian penulis ingin memamerkan wisata di kota Temanggng seperti keberadaan Curug Surodipo, Posong dengan pesona wisata saat matahari terbit, Situs Liyangan dengan temuan budaya Mataram Kuno, menggambarkan keelokan gunung Sumbing Sindoro dengan rangkaian kata indah, sehingga seorang yang membaca puisi ini tergugah ingin mengunjunginya. Hanya sayangnya, acara peluncuran antologi puisi sebagus itu kurang mendapat tempat di hati masyarakat Temanggung. Dengan mengangkat kearifan lokal, diharapkan dapat menjadi acuan bagi guru bahasa dan seni untuk mengembangkan kreatifitas seni sastra anak didiknya. Dari undangan yang disebar untuk para guru, hanya 10 % guru bahasa dan seni yang berkenan hadir pada peluncuran Antologi puisi tersebut. Justru masyarakat pecinta sastra dari luar Temanggung yang berbondong bondong hadir dan menikmati acara tersebut. Bahkan ada beberapa peserta yang berharap, semoga acara yang diselenggarakan oleh Keluarga Studi Sastra 3 Gunung (KSS3G) Kabupaten Temanggung agar menjadi agenda rutin sehingga bisa menambah wawasan bagi beliau sebagai pendidik. Bergabung di blog rame - rame Kompasiana, mempertemukanku dengan penyair senior mbak Selsa yang menawariku gabung di antologi puisi Progo 3 ini. Suatu kehormatan yang tak terkira, meskipun hanya untuk penyair lokal, tapi sesuatuuuu bingits aku ditawarin ikut antologi. Seperti biasa, bermodal nekat aku kirim seluruh puisiku dan ternyataaa…. 5 puisiku “diterima dengan akal sehat” oleh para editor. Lebih membahagiakanku, seseorang yang pertamakali “menjerembabkan” diriku ke Fiksiana, si Putri Apriani pun berkontribusi di antologi Progo 3 ini. Wal hasil tiga kompasioner keren ….“uhukkk”…. berkolaborasi dan menyatu dalam Antologi Puisi Progo 3 ini. Terima kasih mbak Selsa, Pak Ariadi Rasidi dan Pak Roso Titi Sarkoro yang “menyeretku” bergabung di Keluarga Studi Sastra Tiga Gunung Kabupaten Temanggung sehingga mempunyai karya nyata yang akan berbicara hingga tujuh turunan. Cielaahhh…. 14326940102133192480 mbak Selsa, Penulis dan Putri Apriani Meskipun dengan dana terbatas, acara ini bisa terselenggara berkat dukungan dari Bakti budaya Djarum Foundatioin dan Pemda Kabupaten Temanggung serta semangat juang dari para penyair muda yang tergabung dalam Keluarga Studi Sastra 3 gunung mampu menancapkan bakti dan karya nyata untuk Temanggung pada khususnya dan masyarakat Jawa Tengah pada umumnya. 14326942811748550865 para kontributor saat peluncuran Entah dimana letak kesalahannya. Jauh hari sebelum pelaksanaan bedah buku, undangan sudah disebar panitia ke seluruh sekolah di Temanggung. Namun hanya beberapa yang bisa hadir di acara tersebut. Kami hanya berharap, semoga Pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan Kabupaten Temanggung mengapresiasi dan mendukung penuh peluncuran antologi puisi Progo 3 ini, dengan memberikan semacam instruksi yang mewajibkan seluruh sekolah tingkat SMP dan SMU se-kabupaten Temanggung agar menjadikan Antologi Puisi Progo 3 ini menjadi referensi di sekolah. Serta mengharapkan peran Perpustakaan Daerah Kabupaten Temanggung sebagai wadah pembelajaran dan tempat rekreasi bagi para penikmat sastra agar menyediakan sebanyak mungkin Antologi puisi Progo 3 di perpustakaan daerah dan turut serta mendistribusikan ke perpustakaan sekolah atau perpustakaan desa sehingga masyarakat Temanggung dapat menikmati karya sastra yang tengah menggeliat di Temanggung. 14326944282093693240 salah satu penampilan pada rangakaian peluncuran antologi Progo 3 Malam harinya Rangkaian acara peluncuran antologi puisi Progo 3 dilanjutkan dengan Gelar Seni Tiga Gunung persembahan dari Keluarga Studi Satra Tiga Gunung Salaam budaya.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/idamoerid/ahahay-aku-jadi-penulis-keren-lhooooo_5565160eec9673e238cef476
Awalnya artikel ini memakai judul "Cerita Perempuan dalam Antologi Puisi "Progo 3". Ternyata beraaaaattt banget, jadi judulnya diubah dikit, biar rada rada gimanaaaa gitu deh! Selamat membaca ulasan acak adul ini. Bermula dari semangat penyair - penyair muda yang berserak di pelosok Temanggung, satu persatu mereka berkumpul dan dihimpun oleh penyair senior Roso Titi Sarkoro dan Ariadi Rasidi dalam sebuah komunitas Keluarga Studi Sastra Tiga Gunung, hari Sabtu tanggal 23 Mei 2015 bertempat di Pendopo Pengayoman yang megah telah meluncurkan sebuah antologi puisi berjudul Progo 3. Yang istimewa dari Antologi puisi ini memberikan wadah untuk mengembangkan diri bagi sembilan belas penulis perempuan di antara tigapuluh delapan penyair kawakan dan pemula yang terangkum dalam antologi puisi Progo 3 ini. Sebuah pencapaian yang luar biasa untuk kota kecil Temanggung melahirkan sebuah karya seni sastra dengan mengapresiasi perempuan untuk ikut berpartisipasi. Membaca dari berbagai literatur, karya sastra adalah ungkapan pribadi manusia berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran kehidupan, yang dapat membangkitkan pesona dengan alat bahasa dan dilukiskan dalam bentuk tulisan. Jakop Sumardjo dalam bukunya yang berjudul "Apresiasi Kesusastraan" (Sumardjo, Jakob, dan Saini K.M. 1994. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama dalam situs www.pelitaku.com) mengatakan bahwa karya sastra adalah sebuah usaha merekam isi jiwa sastrawannya. Rekaman ini menggunakan alat bahasa. Sastra adalah bentuk rekaman dengan bahasa yang akan disampaikan kepada orang lain. Tentang antologi ini mengapa berjudul Progo 3, karena sebagai lanjutan “episode” antologi yang pernah diterbitkan oleh angkatan sebelumnya. Progo 1 diterbitkan pada tahun 1993 oleh “Wadista” dan Progo 2 (1998). Kata Progo itu itu sendiri diangkat dari nama sungai Progo yang bermata air dari lereng gunung Sindoro, membelah kota Temanggung, melintasi kota Magelang serta Yogyakarta untuk kemudian bermuara di laut selatan. Dari berbagai literatur, sungai atau warga menyebutnya Kali Progo menjadi saksi bisu sejarah perjuangan rakyat Temanggung dalam perang kemerdekaan (1948 -1949). Kali Progomemerah saat itu. Tak kurang dari 1.500 jiwa pejuang dan rakyat gugur di atas jembatan kali Progo Kranggan – Temanggung oleh para serdadu Belanda dan anteknya. Mereka ditangkap tanpa mengetahui letak kesalahannya, di bunuh secara massal dengan cara diikat tangan, ditutup mata, dan disuruh berjejer menghadap ke sungai Progo, lantas di tembak dan sebagian disembelih oleh tentara Belanda. Terinspirasi dari peristiwa merah berdarah itulah sejumlah puisi tercipta dan diabadikan dalam sebuah antologi. Peluncuran Antologi Puisi Progo 3 diawali dengan bedah buku oleh Dra. Dad Nia Samsihono M Hum, dari badan Pengembangan dan Pembinaan bahasa Jakarta, dengan moderator Gunoto Sapari, seorang penyair, kritikus sastra dan anggota Dewan Kesenian Jawa Tengah. Dalam bedah buku dikatakan, antologi puisi ini masih banyak “rancu” dengan menggunakan kosakata yang tidak mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ketika antologi ini diluncurkan, sudah pasti akan dibaca oleh masyarakat dan kemungkinan besar akan menjadi acuan atau referensi bagi anak didik yang sedang belajar menulis sastra. Ketika para penyair menggunakan kosakata yang salah dan dijadikan referensi, maka penulis akan “menanggung dosa” atas kesalahan yang dibuat pada si anak didik. Sebagai contoh masih banyak penyair yang menggunakan kata “nafas” dan tidak menggunakan “napas” seperti kaidah dalam KBBI. Hal ini ditemukan pada puisi “Aku Harus Berhenti Disini” (halaman 127) dan pada puisi “ Jejak Pagi di Kotaku” (halaman 324). 14326874961098645651 Ketua KSS3G Roso Titi, Bu Nia Samsihono, Gunoto Sapari, dan 2 penyair senior Bu Nia Samsihono mengatakan bahwa puisi adalah bahasa hati. Namun meskipun merangkai kata menjadi untaian kata indah untuk melukiskan perasaan di sanubari, tetap harus berpedoman pada ejaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dalam antologi tersebut beliau masih banyak menemukan kosa kata dari bahasa daerah masuk ke dalam puisi. Menyitir ucapan Gunawan Muhammad, “seorang penyair yang masih memasukkan bahasa daerah ke dalam puisi, maka dikatakan bahwa penyair itu belum bisa berbahasa Indonesia yang baik dan benar”. 14326875621783690421 Penampilan penyair senior Ariadi Rasidi Ibu Nia Samsihono juga menemukan kosa kata baru “kekes” dan “jekut” pada puisi “Tuhan Telah menegurku”. (hal, 7) dalam antologi Progo3 ini. Kekes dalam bahasa Jawa menggambarkan suasana dingin menusuk tulang, biasanya hanya di daerah pegunungan. Juga kata “jekut” mempunyai makna yang hampir sama dingin menggigit tulang. Oleh bu Nia Samsihono, kata tersebut akan dipelajari dan kemungkinan akan dimasukkan ke dalam kosakata baru berpedoman pada Tesaurus Bahasa Indonesia dengan studi ilmiah terlebih dahulu. Namun secara garis besar, beliau mengapresiasi peluncuran Antologi Progo 3 ini sebagai tonggak kebangkitan angkatan muda Sastrawan Temanggung dan tidak menganggap enteng atas keberadaan Keluarga Sastra Seni 3 Gunung ini. Dalam progo 3 ini sebagian penulis mengangkat kearifan lokal Temanggung dengan makanan khasnya berupa empis - empis seperti dalam puisi “Simponi Empis - Empis” (hal 5), harapan perempuan Temanggung seperti tersirat dalam puisi “Perempuan Berkalung syair” (hal,280) dan tentu saja sebagian penulis ingin memamerkan wisata di kota Temanggng seperti keberadaan Curug Surodipo, Posong dengan pesona wisata saat matahari terbit, Situs Liyangan dengan temuan budaya Mataram Kuno, menggambarkan keelokan gunung Sumbing Sindoro dengan rangkaian kata indah, sehingga seorang yang membaca puisi ini tergugah ingin mengunjunginya. Hanya sayangnya, acara peluncuran antologi puisi sebagus itu kurang mendapat tempat di hati masyarakat Temanggung. Dengan mengangkat kearifan lokal, diharapkan dapat menjadi acuan bagi guru bahasa dan seni untuk mengembangkan kreatifitas seni sastra anak didiknya. Dari undangan yang disebar untuk para guru, hanya 10 % guru bahasa dan seni yang berkenan hadir pada peluncuran Antologi puisi tersebut. Justru masyarakat pecinta sastra dari luar Temanggung yang berbondong bondong hadir dan menikmati acara tersebut. Bahkan ada beberapa peserta yang berharap, semoga acara yang diselenggarakan oleh Keluarga Studi Sastra 3 Gunung (KSS3G) Kabupaten Temanggung agar menjadi agenda rutin sehingga bisa menambah wawasan bagi beliau sebagai pendidik. Bergabung di blog rame - rame Kompasiana, mempertemukanku dengan penyair senior mbak Selsa yang menawariku gabung di antologi puisi Progo 3 ini. Suatu kehormatan yang tak terkira, meskipun hanya untuk penyair lokal, tapi sesuatuuuu bingits aku ditawarin ikut antologi. Seperti biasa, bermodal nekat aku kirim seluruh puisiku dan ternyataaa…. 5 puisiku “diterima dengan akal sehat” oleh para editor. Lebih membahagiakanku, seseorang yang pertamakali “menjerembabkan” diriku ke Fiksiana, si Putri Apriani pun berkontribusi di antologi Progo 3 ini. Wal hasil tiga kompasioner keren ….“uhukkk”…. berkolaborasi dan menyatu dalam Antologi Puisi Progo 3 ini. Terima kasih mbak Selsa, Pak Ariadi Rasidi dan Pak Roso Titi Sarkoro yang “menyeretku” bergabung di Keluarga Studi Sastra Tiga Gunung Kabupaten Temanggung sehingga mempunyai karya nyata yang akan berbicara hingga tujuh turunan. Cielaahhh…. 14326940102133192480 mbak Selsa, Penulis dan Putri Apriani Meskipun dengan dana terbatas, acara ini bisa terselenggara berkat dukungan dari Bakti budaya Djarum Foundatioin dan Pemda Kabupaten Temanggung serta semangat juang dari para penyair muda yang tergabung dalam Keluarga Studi Sastra 3 gunung mampu menancapkan bakti dan karya nyata untuk Temanggung pada khususnya dan masyarakat Jawa Tengah pada umumnya. 14326942811748550865 para kontributor saat peluncuran Entah dimana letak kesalahannya. Jauh hari sebelum pelaksanaan bedah buku, undangan sudah disebar panitia ke seluruh sekolah di Temanggung. Namun hanya beberapa yang bisa hadir di acara tersebut. Kami hanya berharap, semoga Pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan Kabupaten Temanggung mengapresiasi dan mendukung penuh peluncuran antologi puisi Progo 3 ini, dengan memberikan semacam instruksi yang mewajibkan seluruh sekolah tingkat SMP dan SMU se-kabupaten Temanggung agar menjadikan Antologi Puisi Progo 3 ini menjadi referensi di sekolah. Serta mengharapkan peran Perpustakaan Daerah Kabupaten Temanggung sebagai wadah pembelajaran dan tempat rekreasi bagi para penikmat sastra agar menyediakan sebanyak mungkin Antologi puisi Progo 3 di perpustakaan daerah dan turut serta mendistribusikan ke perpustakaan sekolah atau perpustakaan desa sehingga masyarakat Temanggung dapat menikmati karya sastra yang tengah menggeliat di Temanggung. 14326944282093693240 salah satu penampilan pada rangakaian peluncuran antologi Progo 3 Malam harinya Rangkaian acara peluncuran antologi puisi Progo 3 dilanjutkan dengan Gelar Seni Tiga Gunung persembahan dari Keluarga Studi Satra Tiga Gunung Salaam budaya.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/idamoerid/ahahay-aku-jadi-penulis-keren-lhooooo_5565160eec9673e238cef476

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kulihat Pelangi Bersamamu

(Puisi) Tarian koruptor

Paling Jauh dan Paling Dekat Dengan Manusia?