Selamat Hari Santri Buah Hatiku
Ini hanyalah sepenggal kisah
usang. Tentang sebuah rasa seorang Emak yang harus berpisah dengan buah hati
dalam pengembaraan mencari ilmu.
Si sulung dengan keinginan
kuat untuk terus menimba ilmu, setelah lulus setingkat Tsanawiyah atau SMP mencoba
peruntungan dengan mendaftar di Mansa Yogya dengan harapan tidak perlu pulang
di kampung halaman. Namun egoku mengalahkan logika. Dengan rasa masih ingin
terus memeluk mereka dengan terpaksa si sulung melanjutkan SMA di desa. Disusul
adiknya satu tahun kemudian.
Berhubung lagi hangat - hangatnya
peringatan Hari Santri, kucoba memuat ulang tulisan lama yang tak akan pernah usang.
Selamat membaca.
**************
Tanggal 22 Oktober oleh
Pemerintah Indonesia telah ditetapkan sebagai Hari Santri. Penetapan tersebut berdasar dari niat dan
semangat untuk menegakkan kemerdekaan melalui Resolusi Jihad oleh KH Hasyim Asy
ari pendiri organisasi Nahdatul Ulama untuk membendung Agresi Belanda ke II.
Kata santri memang khas
Indonesia sekali. Mengingatkanku pada
seseorang laki bersarung, berpeci dan terkesan udik. Sesekali waktu berjas
untuk acara resmi tapi tetap tak meninggalkan sarung dan sandal jepitnya. Hehehe
. Sedangkan santriwatinya bersarung
berkerudung panjang, tanpa harus
menutup seluruh rambutnya.
Tapi itu cerita dulu saat Emakku
jadi santriwati di Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta di awal tahun
enampuluhan. Aku bisa cerita “jelek” kayak gitu berdasar album foto hitam putih
Emak saat belia dulu.
Sekarang di abad digital ini, santri tetap harus
berpegang teguh pada aturan baku bersarung dan berpeci. Ada hukuman bagi santri
yang melanggar aturan pondok pesantren. Ini ku ketahui saat aku menitipkan dua
buah hatiku di pesantren Yogyakarta. Awalnya geli juga kok aturan kaku kayak
gitu.
Ternyata oh ternyata,,
setelah “terjun bebas” di dunia kepesantrenan, bersarung dan berpeci
menumbuhkan semangat kebersahajaan dan yang paling penting terjaga kesucian
badaniyah saat menghadap sang Khalik. Selain hal kecil tersebut ternyata mampu
menumbuhkan sikap disiplin yang tinggi bagi si anak. Setiap menjalankan sholat
lima waktu berjamaah di masjid (kecuali jam pelajaran sekolah, mereka tidak
diwajibkan bersarung namun tetap memakai seragam celana panjang untuk sholat
dhuhur: red). Seorang santri yang tidak memakai sarung dan berpeci merasa
menjadi “makhluk asing” dari dunia lain, berasa tidak ada jiwa korsa atau
kebersamaan dengan teman yang lain. Otomatis, sebelum waktu jamaah sholat
dimulai, mereka sudah berbenah dan bersiap memakai sarung dan peci jauh sebelum
adzan berkumandang. Dan saat melihat para santri itu berjamaah bersarung,
terlihat dari belakang rapi dan keren.
Itu salah satu secuil
gambaran kecil dari segi penampilan saja. Dari cara makan bersama dan berbagi
pun menimbulkan jiwa setia kawan dan tepa slira yang tinggi. Saat aku menengok
anakku, mereka pasti minta dibawakan lauk lebih untuk dibagikan minimal teman
sekamar yang berjumlah 12 anak. Syukur-syukur kalau Emaknya lagi “kaya raya”,
terutama si krucil sering request macem-macem untuk teman sekamar dan teman
sekelasnya yang berjumlah 33 orang.
Wuihhh… bahagiaaaa banget saat membawa makanan sederhana apapun ludes
tak tersisa dihabisin para santri. Tapi jangan salahh… mereka tidak rebutan
makanan lhoo!!! Tapi saling mengingat siapa di antara rekannya yang belum
mendapat jatah, maka akan disingkirkan sebagian makanan itu untuk teman yang
belum bergabung. Tumbuh jiwa tepa slira dan kesetiakawanan yang indah diantara
mereka. Melihat kondisi kayak gitu bahagiaku pasti,, Namun saat di rumah
berlimpah rejeki makanan, kadang diriku dan bokapnya anak-anak sering kali tak
bisa menikmati makanan yang tersaji. Bahkan kadang ada guyon diantara kami :
‘Bungkus… trus anterin ke pesantren yuuk!”.
Jangan dikira mereka hanya
membunuh hari dengan bersantai. Di pesantren mereka ternyata lebih sibuk
dibandingkan dengan mereka yang bersekolah di sekolah biasa. Di saat teman-temannya
bangun tidur, mandi, makan, langsung berangkat sekolah, sedangkan para santri
harus lebih bekerja keras. Bangun tidur diharuskan sholat malam atau tahajud
jam 4 pagi. Entahlah tahajud mereka khusyuk apa tidak. Tapi minimal dengan
“pembiasaan” yang berulang setiap hari, pada suatu masa pasti akan menumbuhkan
keyakinan di hati anak bahwa doa mereka akan terkabulkan. Terasahlah asa mereka
dengan kebiasaan yang “dipaksakan” tersebut. Setelah sholat malam sambil
menunggu sholat subuh, setiap anak diharuskan menyetorkan “hafalan” surat
Alquran untuk bekal mengikuti khataman di akhir tahun. Di pesantren Sunan Pandanaran Yogyakarta,
anak hendak lulus Madrasah Tsanawiyah (setingkat SMP) harus mengikuti khataman
Bil Ghoib Juzamma (hafalan) sedangkan untuk lulusan Madrasah Aliyah (setingkat
SMU) harus mengikuti khataman Bil Ghoib
bin Nadri (Juzamaa, surat Arrahman, Yassiin, Al-kahfi dan Al-baqoroh). Duh
beratnyaaa… Emaknya aja sampai detik ini hanya hafal Al-fatihah, surat Al-ikhlas,
An-nas dan Al-falaq doang. Alhamdulillah si sulung melampaui ekspektasi, karena
dia bisa ikutan khataman bin Nadri di kelas dua yang seharusnya menjadi
kewajiban kakak santri setingkat Aliyah. Melihat kondisi tersebut akupun agak “memaksa”
si bungsu untuk mengikuti jejak kakaknya, dan diapun bisa mengikuti khataman
juzamma saat kenaikan kelas dua meski lolos di periode ke empat. Meski
terengah-engah tetaplah membanggakan bagi kami karena di kelas baru delapan
anak dan sekamar baru 3 anak yang lolos ujian. Saat ini si bungsu di “bawah
pengawasan” kakaknya berusaha menghafal surat panjang yang disyaratkan untuk
mengikuti khataman bin Nadri. Begitu
mengetahui dua buah hatiku khatam juzamma , muncullah “semangat membara”
terpacu ikut hafalan pada diriku. Namun
apalah dayaku. Seperti kata pepatah, bagai menulis di atas air. Jadi begitu hapalan langsung hilang tak
berbekas. Hehehe. Untunglah anakku menghafal dan berlatih di usia muda, jadi
insyaAllah akan tetap membekas di otaknya sampai ajal menyapanya dan berharap
akan menjadi amalan mereka kelak. Aamiin
Sore hari pulang sekolah
setelah sholat ashar banyak tersedia
waktu senggang untuk mereka. Bagi para santri yang kecapaian bisa langsung
rebahan di ranjang bertingkat. Bagi anak yang senang berolahraga mereka gunakan
untuk badminton, sepak bola atau basket di lapangan yang telah disediakan.
Sebenarnya di pesantren disediakan laundry, tapi atas nama pengiritan (mending
duitnya buat jajan) anakku beririt dengan mencuci baju sendiri bersama temannya
sekaligus bercanda bermain semprot air.
Jam menunjukkan pukul lima
saat para kakak pengasuh mengingatkan untuk bersiap sholat magrib. Segera saja
kamar mandi dipenuhi antrian. Saking kepepet nya waktu ada beberapa anak yang
mandi ditempat mencuci baju sambil bersendau gurau. Sepertinya dunia remaja
tidak lepas dari para santri dengan saling mengejek dan ,”mem-bullying”rekan yang lain. Memasuki waktu
magrib para santri beraktifitas dari sholat berjamaah, mengaji kitab, setoran
hafalan Alquran sampai belajar bersama hingga jam 9 malam.
Begitulah betapa padatnya
kegiatan para santri setiap harinya. Hari Kamis sore dan Jumat adalah waktu
yang ditunggu oleh para santri, karena merupakan hari santai dan bebas dari
segala rutinitas. Itulah saat televisi boleh dinyalakan dan bagi santri yang
mengikuti ekstrakulikuler dapat menyalurkan hobinya. Dari jurnalistik, informasi
teknologi, pidato, bahasa, qiroah, pramuka, rebana marching, fotografi dan olah
raga macam basket, badminton bela diri dan sepak bola yang diselenggarakan di
pesantren.
Si sulung dari SD udah
seneng gebug drum, akhirnya di pesantren dia ikut rebana dan sebagai
penyeimbang dia mengkuti olahraga basket. Alhamdulillah di dua kegiatan
tersebut dia masuk tim inti dan selalu mewakili pesantren dan madrasah dalam
setiap turnamen dan kegiatan.
Sedangkan si bungsu,
kuarahkan masuk bela diri karena saat SD dia udah ngantongin medali di
taekwondo. Sayang dia menolak dan mempunyai keinginan ikut sepak bola. Gantian Emaknya
jaim dan menolak permintaannya, akhirnya di posisi tawar dia mengikuti olahraga
badminton. Melihat prestasi kakaknya di kelas dua ini dia ingin mengikuti jejak
kakaknya di kegiatan basket. Dan dia juga mendaftar di HTT (hayatut tholibin)
atau seperti Organisasi Intra Sekolah/OSIS bila di sekolah umum sebagai
“CENTHENG”/ anggota keamanan dengan harapan bisa oprak-oprak temannya. Sayang
keinginannya tak terpenuhi, justru dia dimasukkan ke dalam tim inti yaitu
anggota HUMAS, karena suaranya kencang dan “berwibawa” katanya. Haissss.. sok
amit. Ngelesnya melebihi Emaknya deh. Hehehe. Tapi emang kulihat bakat dia berbicara dan mempengaruhi orang
lain. Itu terlihat saat kami sedang bercengkrama bersama dan dia pinter ngeyel
dalam memepertahankan pendapatnya.
“Menyebalkan…” Kataku.
Namun bokapnya anak-anak
bilang : “Persis Emaknya”.
Itulah sepenggal kisah buah
hati kami menuntut ilmu di pesantren yang membuka mata batinku. Dahulu jujur
aja aku menganggap remeh pesantren dan para santrinya. Terkesan “udik”
menurutku. Tapi dengan gemblengan terus menerus setiap harinya, ternyata para
santri lebih siap dalam menghadapi dinamika kehidupan yang semakin berat ini
daripada mereka yang “bersekolah biasa”. Nuhun.
Komentar
Posting Komentar