Sampaikan Salamku untuk Himatul Ulya Hasnawati

 



Semalam, pada tanggal 17 Agustus 2021 jam 20.00 WIB kami berkumpul secara virtual untuk mengenang dan mendoakan 40 hari meninggalnya adik  kami, Himatul Ulya Hasnawati. Nama indah pemberian kedua orang tua itu kembali terlintas di ingatan dan seketika mataku basah. nama kecil adik ragil sebelum bersalin menjadi Rina Rusydiyana.  Sejak usia 4 bulan Lia dirawat pakde Basyar dan budhe Jaliyah yang kami panggil Pak’e dan Mbokne bersama mas Hakim dan mbak Ana. Pak’e ini kakak kandung Bapak dan Mbokne kakak kandung Makne. Jadi Mbak Ana, Mas Hakim dan Lia termasuk beruntung karena mendapat dua asuhan orang tua. Setiap malam mereka ke rumah Parakan untuk mengaji bersama Bapak diantar Pak’e. Pak’e meninggal pada tahun 1981 karena tertembak perampok. Sejak saat itu Mbokne hanya ditemani Mbak Ana dan mas Hakim dan dua saudara yang mengurus selepan, karena sejak kelas 2 SD Lia kembali ikut bersama Bapak di rumah Kauman. Tapi dipastikan setiap liburan atau seminggu 3 kali Lia pasti menginap di rumah Mbokne di Krasak yang luas dan belum banyak tetangga, kanan kiri masih terbentang sawah hijau. Sayapun kadang ikut menginap di sana. Meskipun mempunyai kompor sumbu, tapi Mbokne masih menggunakan pawon untuk memasak dan kolam besar/blumbang di dalam rumah untuk keperluan MCK. Air sumur hanya digunakan bila musim kering tiba dan keperluan memasak saja. Setiap pagi kami ikut “gegeni” dan kekadang membakar ubi atau padi sembari meniup api yang hampir padam dengan “semprong”, setelah api menyala kembali kami bersorak riang. Indah sekali. 

Satu hari kala usia Lia dua atau tiga tahunan ada sebuah peristiwa besar di keluarga kami. Di hari naas itu, mas Hakim laporan ke Mbokne bila boneka Lia tercebur kolam. Setelah didatangi terlihat boneka itu  sudah mengambang di air dan ternyata Liaa!!!!. Saat itu juga Lia diangkat dan dibawa ke Rumah Sakit Ngesti Waluyo, (satu satunya rumah sakit swasta terdekat selain RSUD di Temanggung). Butuh perjuangan ekstra untuk membawanya. Sedihnya lagi, saat itu Bapak  tengah persiapan untuk dinas luar daerah Ke Jakarta. Dan ini kesempatan kami anak - anaknya berpiknik! Siang hari mbak Dur, saya  dan mbak Oh sudah diantar ke pool Bis OBL ( satu - satunya perusahaan otobis antar propinsi) di Temanggung bersama koper besar (satu - satunya juga yang kami miliki!!) J

Bisa dibayangin kayak apa kota Temanggung di tahun 1980-han yaa. Bercerita tentang Temanggung negeri tembakau nan damai akan menghabiskan ribuan aksara hehehe, jadi kusudahi saja cerita tentang Temanggung bersenyum.

Kembali ke cerita tentang rencana perjalanan ke Ibukota negara dengan suka cita. Sampai dengan jam keberangkatan bis, Bapak , Makne dan mas Aut belum juga datang. Tetiba pak Ambari dan pak Sumar (membantu di selepan mBokne) datang ke pool di Jalan Diponegoro Temanggung dan mengajak kami pulang. Ngamuklah saya membayangkan piknik gagal. Sampai di rumah ternyata ada peristiwa Lia “nyemplung blumbang” dan Alhamdulillah bisa diselamatkan. Sejak saat itu, namanya bersalin menjadi Rina Rusydiyana dengan tetap nama panggilan kesayangan dari Makne, LIA diambil dari nama Himatul Ulya Hasnawati tersebut.

Seiring berjalannya waktu, suatu ketika Bapak bercerita  bahwa saat peristiwa “ kecemplung blumbang”, hanya memakai sepatu saja Bapak butuh waktu berjam – jam. Sekedar menali sepatu saja tidak bisa! Beberapa kali lepas!! Sampai Bapak Kepikiran ada apa ini? Apa kami harus membatalkan keberangkatan karena akan terjadi kecelakaan di perjalanan nanti? Begitu tali sepatu bisa terikat sempurna dan bersiap berangkat bersama Makne, Bapak didatangi pak Basyir (membantu di selepan padi) dan segeralah meluncur ke rumah sakit. Drama dimulai karena saat Bapak tiba, dokter Siswanto yang menangani sudah angkat tangan dengan kondisi Lia. Perut sudah membuncit dan wajah membiru dan bengkak. Begitu Bapak minta izin masuk ke ruangan menangis dan bertalqin, mendadak Lia batuk dan dokter segera melakukan tindakan lagi. Alhamdulillah Lia diberi kesempatan hidup untuk terus berbakti dan mengabdi sampai virus Covid 19 membuatnya tumbang dan harus berpisah selamanya dengan 4 buah hati dan keluarganya. Lia berpulang di usia 45 tahun, membersamai Bapak dan Makne di surga tanggal 8 Juli 2021 lalu.

Kesedihan kali ini.

Mencecap segala jeri

Tak peduli siapa yang dihadapi

Renik jadi musuh tersembunyi


Sedikitpun  tak tengara

Memisahkan dengan tetiba

Kekasih dalam renjana

Tanpa sanggup bertanya

 

Tak perlu lagi ada kesombongan

Tak perlu lagi sawala

Semua akan kembali pada haribaan

Kita hanya menunggu panggilanNya


Sejak peristiwa tersebut Lia sering jatuh sakit, maka kelas 2 SD Lia kembali ke rumah Parakan dan pindah sekolah. Lia mendapat perhatian ekstra dari Bapak. Setiap menceritakan kejadian itu, suara Bapak selalu tercekat dan pasti geleng – geleng kepala. Seperti yang pernah saya ceritakan, Lia ini pendiam, tapi ketika pengen suatu barang dan Bapak belum bisa memenuhi, Lia langsung jatuh sakit. Untunglah mbokne banyak mendukung kebutuhan Lia. Begitu demam melanda, sore hari sepeda mini baru ada di rumah Krasak dan Lia dijemput mbokne. Seketika demam hilang dan Lia langsung bisa menaiki sepeda tersebut keliling halaman yang luas. Juga ketika Lia mempunyai keinginan sepatu baru atau tas atau barang lainnya, sekali hanya dijanjikan Bapak, tanpa menangis Lia mengangguk, tapi langsung  demam. Begitu barang yang diinginkan ada, Lia langsung bugar kembali. Ketika modus tersebut saya gunakan untuk “mengelabuhi” Bapak, haaaaaa sampai ganti hari juga ga bakalan barang yang diinginkan bisa serta merta  menghampiriku, hihihi.  Bukan Bapak tidak sayang pada kami, tapi emang kondisilah yang membuat Bapak harus menggunakan skala prioritas. 

Begitulah kami dipersatukan dan terus tumbuh kembang bersama. Kami dua pribadi yang sangat berbeda, Lia rambutnya lurus dan bagus, bila tersenyum cantik sekali seperti Atiek CB, sikapnya kalem tidak pernah berteriak, cenderung mengalah, tapi mempunyai azaam yang sangat kuat. Sedangkan diriku? Dengan “kelebihan” gigi J,jadi boro - boro  bisa senyum manis, bisa mingkem sempurna aja udah suatu prestasi luar biasa hahaha. Hobby teriak dan grusa - grusu , apa adanya dan bukan tipe orang yang berupaya keras seperti Lia.  Anehnya, kami bagai magnet yang saling melengkapi. Kemanapun kami selalu main berdua. Suatu kebetulan, Makne bila membeli baju pasti kembaran dengan warna dan model sama.

Di masa putih biru hingga putih abu-abu, kami semakin kompak. Semua teman saya kenal baik dengannya, pun sebaliknya. Setiap menjelang lebaran, kami selalu disibukkan membuat aneka kue kering untuk isian stoples. Selesai urusan masak memasak, kami mulai menata ruang untuk membuat suasana lebaran terasa berbeda. Saya membantu mas Aut mengecat meja kursi, Lia sibuk ngepel dan menata ruang sembari mendengarkan radio. Lia hobby banget mencatat lagu baru di buku yang diperdengarkan di radio, dan saya tinggal nyomot ikutan ngapalin hihihi.

Banyaaaaak sekali kenangan indah yang kami lewati bersama. Saat SMA saya sering lhooo menjawab surat cinta (saat itu berkirim surat cinta begitu istimewa, bukan seperti sekarang dengan sosmed lebih praktis).  Sayangnya belasan surat cinta itu untuk Lia, bukan untuk saya. Kasihan yaa!!! hahahaha. Sekarang baru nyadar bila saya bisa nulis ngasal kayak gini gegara terlatih membalas surat cinta. Beberapa kalimat sering saya comot dari kumpulan lagu yang Lia tulis dan kumpulkan dalam sebuah buku. Hihihi.

Begitu dekatnya kami, hingga semua yang Lia rasakan saya bisa turut merasakan. Setelah lulus kuliah di Universitas Erlangga dia pulang dari Surabaya dan kami sempat bersama lagi. Untuk mengisi waktu luang, Lia ikut mba Bararah di Semarang dan beraktifitas di PRPP. Sampai akhirnya dengan berbagai pertimbangan, Lia ikut mbak Dur ke Propinsi Lampung dan Alhamdulillah Lia diterima sebagai ASN di Pemda Lampung Tengah. Rezeki Lia memang harus ke tanah sebrang dan karirnya melejit.

Saat mendapat beasiswa S2 di UGM tahun 2007 juga ada kisahnya.
Kami (tanpa janjian) mendaftar beasiswa ke Bappenas. Alhamdulillah tahapan TPA dan Toefl kami lolos bareng!!. Sedikit membanggakan, nilai TPA saya lebih tinggi sedikit dibanding Lia. Tapi qodarullah, saya hanya masuk quota cadangan (quota Jawa), sementara Lia langsung diterima karena Lia mendapat rezeki quota 75 % untuk luar Jawa. Iri? Tidaklaaah karena itulah yang namanya takdir Allah yang tidak bisa dilawan. Keuntungannya? Kami bisa lebih dekat lagi karena Lia harus tinggal di Yogyakarta. Beberapa kali kami saling mengunjungi dan bercerita di kasur seperti dulu saat kami belum menikah.

Hanya sayangnya setelah meninggalnya Makne, sekitar tahun 2014 hubungan kami kurang harmonis. Hanya semata ruang, jarak, waktu dan kesibukanlah yang membuat kami tidak bisa saling berbagi rasa seperti dulu. Seperti ada tembok besar yang menghalangi kami saling berbagi cerita. Pada akhir tahun 2013 Lia pernah bercerita sangat pribadi dan beberapa bulan kemudian dia berpesan untuk menyimpan sendiri cerita tersebut, karena akan membuatnya menjadi tidak baik. Berawal dari situlah saya berusaha menahan diri dan tidak pernah turut menyampuri urusan pribadi Lia, yang berakibat hubungan kami menjadi sangat datar.

Satu pesanku padamu Lia sayang :

Harus Kamu ketahui Lia, sekasar ini gesture tubuh dan omongan mbak Ida (yang kamu sangaaat hapal di luar kepala) tapi mbak Ida selalu merindukanmu dan itu dirasakan oleh mba Durrul, kakak mbarep kita, pengganti orang tua kita. Dan mbak Ida memang sangat - sangat menahan diri untuk tidak banyak bicara padamu, karena kau tahukan Ya, kalau mbak Ida sudah tidak bisa mengendalikan diri, apapun akan kuhadapi!!!. Makanya mbak Ida hanya selalu mengingat pesanmu untuk menyimpan erat cerita itu dan tidak akan banyak bicara yang akan menyulitkanmu!. Beberapa hari sebelum kepulangan Bapak, mbak Ida terpaksa mengontak dan sedikit memaksamu pulang ke Temanggung karena sungguh Bapak sangat merindukanmu saat itu. Setelah kepulanganmu kemarin, mbak Dur juga yang menenangkan mbak Ida bahwa kamu berbuat seperti itu karena baktimu pada suami. Semoga hanya kebaikan yang melingkupi kita semua ya Lia.

Tanggal 5 Juli 2021 pesan di grup keluarga mengabarkan kamu masuk ICCU karena covid, mbak Ida langsung mengirim pesan padamu mengajak kita bercanda lagi seperti dulu (yang sayangnya sepertinya tidak sempat kau baca L ). Hampir dua minggu ini, semua grup hanya mengabarkan tentang berita duka, sehingga mbak Ida hanya berani membuka telepon genggam di pagi hari. Pagi hari sesudah sholat subuh tanggal 8 Juli 2021, mbak Ida menyempatkan membuka telepon genggam yang sejak jam 11 malam kembali ramai mengabarkan kepulanganmu di malam Jumat barokah. Mbak Ida hanya bisa menangisi kepulanganmu di Jumat pagi itu tanpa sempat kita berpelukan seperti anganku. Kami hanya bisa sholat ghoib untuk mengantar kepergianmu. Kita berpelukan terakhir di tahun 2019 saat Bapak berpulang menghadap Allah, kekasih sejatiNYa yang telah dipersiapkan jauh - jauh hari. 

Pada kotak dalam genggam

Bertalu genta kematian

Laksana genderang perang


Menggemakan tabir pesan

Tentang  sebuah tujuan

jiwa -jiwa rengsa meranggas.


Dan aku hanya mampu

Tertunduk luluh pilu

Repihan mantra doa sahdu

Bahala segera beringsut

Semesta tersenyum ranum

Geliat asa seluruh.

“Likulli ummatin ajal”. Dalam Al quran surat Yunus (10 : 20) disebutkan bahwa tiap –tiap umat mempunyai ajal. Semua kefanaan di dunia akan bertemu dengan kepunahan. Gelas milik kita pecah, tas kita sobek, rumah kita dimakan rayap, mesin kendaraan tetiba rusak atau mati, itu merupakan sunatullah bahwa barang tersebut sudah menemui ajalnya. Begitu juga dengan semua nyawa, akan kembali kepada sang Pemilik.

Jumat, 9 Juli 2021 adalah hari yang paling menggelisahkan, menyentak segala rasa yang tertinggal. Mataku nanar mencermati beberapa pesan yang masuk dan seketika saya menangis meraung - raung (hingga tetangga depan rumah mendengarnya dan bertanya apa yang terjadi) Kesedihan bercampur kekecewaan menggelayuti hingga sebuah ayat mendadak menghampiri ingatanku. “Khullu nafsin dzaa iqatul maut”, (Al Imran 2 : 185)  Setiap yang berjiwa akan merasakan mati.

Jika tidak ingat bahwa kematian adalah sunatullah, rasanya mbak Ida belum ikhlas. Sebesar apapun namamu, baktimu, kamu tetap gadis kecil yang gampang merajuk di mata mbak Ida. Saat Makne dan Bapak meninggalkan dunia untuk selamanya, mbak Ida sedih! Tapi tidak sesedih mendengar kepergianmu karena bersamanya telah mempersiapkan diri bila perpisahan dengan Bapak dan Makne akan segera tiba. Tapi kepulanganmu sangat mengagetkan, menghentakkan kesadaran. Ada “pekerjaan rumah” yang masih harus kita tunaikan, ada beberapa cita - cita kita bersama dahulu yang belum terlaksana.

Tapi, membayangkan kamu syahidah karena wabah Covid 19 dan akan bertemu segera dengan Bapak dan Makne, Mbokne dan Pak’e di FirdausNya, mb Ida yakin Lia akan memeluk bahagia.

Pekerjaan rumahmu di dunia tunai, rezekimu telah Allah genapi.

Innalillahi wa inna ilahi rojiun. Pulanglah dalam kedamaian Lia. Kami ikhlas, dan akan selalu menemanimu lewat doa - doa semampu kami panjatkan. Semoga kelak kita semua dipertemukan di FirdausNya dalam kedamaian dan kebahagiaan hakiki.

Wahai jiwa yang tenang,

kembalillah pada Rabb-mu dengan hati puas lagi di ridhaiNya”.

( QS al Fajr. 27- 18)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Komentar

  1. Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un...ikut berduka cita yang sedalam-dalamnya, Dik Ida .
    Baca ceritanya ikut menitikkan air mata..
    Bulan Juni aku jg kena Covid, 2 Minggu di RS , Alhamdulillah bisa pulang ke rumah dan sembuh. Waktu itu aku juga pasrah karena banyak teman , saudara kalah melawan Covid. Tapi Allah Masih memberi kesempatan aku melanjutkan hidup. Semoga dik Lia sangat senang ada di sisi-Nya. Aamiin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin aamiin.matur nuwun mb Bekti Dinda Pertiwi. Mbakku, masku juga pd terserang cov. Mb Bararah serangan pertama lumayan parah.. ee.. malah adik ragil yg tidak tertolong. Beruntung panjenengan..big hug

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kulihat Pelangi Bersamamu

(Puisi) Tarian koruptor

Paling Jauh dan Paling Dekat Dengan Manusia?