Rasa yang menguar


Gambar hanyalah pemanis belaka

Malam ini tetiba saya ingin menulis tentang rasa yang menguar di dada sejak hari raya menjelang hingga berlalu dengan banyak cerita. 

Rasa pertama yang mengusik saat saya bersilaturahmi di hari raya. Bertemu dengan pelaku usaha kecil. Mereka bercerita kecewa dengan cara pemaketan hampers dari komunitas. Bayangkan, ada pelaku usaha memproduksi kue kering (bukan dia yang bercerita, tapi lewat mulut orang lain yang dipercaya), dengan harapan memanen laba di hari raya, riang gembira dia menyetor hasil produksi yang diharuskan sebanyak 100 paket. 2 atau 3 hari menjelang hari raya, dia ditelepon untuk mengambil hasil penjualan.

Ada rasa yang tak bisa diungkapkan saat itu. Bayangannya pupus!!!. Dia disuruh membawa sisa barang yang hanya terbeli 13 paket. Bayangiiinnn.. modal yang dikeluarkan tidak sedikit tapi harapannya menguap begitu saja. Sedih dan  sumpek pastinya. Akhirnya teman teman pelaku usaha lainnya yang mendukung dengan membeli yang sebenarnya tidak masuk daftar belanja hari raya. Semata jiwa korsa dan menempatkan diri andai dirinya yang mendapat perlakuan seperti itu.

Rasa kedua yang mengusik, paket hampers yang ditawarkan tak sebanding dengan isinya. Taruhlah saya biasa membeli madu seharga 100 ribu mendapat 1 botol madu seliter, tapi di hampers itu saya terkejut bukan main mendapati 2 botol madu mungil segede jempol tangan @100 gr nyembul di dalam tas besar warna ijo dengan harga yang sama. Harga segitu sangaaat di luar nalar emak emak , pun emak emak jarang belanja!! Untunglah setelah ada beberapa masukan, di paket tersebut nyempil criping balung kuwuk. Hellooo!!!! Lebaran biasanya orang berupaya memberi yang terbaik dengan kastangel, nastar, lidah kucing, mete dan makanan mewah lainnya, makanan yang sehari hari jarang dinikmati sebagai penghormatan kepada para tamu yang hadir bersilaturahmi ke rumah. Lhaaa ini lebaran disuruh “ngekepi” balung kuwuk. Situ sehat?

Rasa ketiga yang mengusik. Seandainya dalam surat sakti hanya menyebutkan himbauan, pasti hasilnya akan berbeda. Tapi manakala sumbu kekuasaan menggunakan senjata TAJAM, dengan “mewajibkan”.. justru orang orang yang tadinya memberikan atensi, akan mundur teratur bahkan menolak. Mereka membeli hanya sekedar menggugurkan kewajiban, bukan karena tumbuh rasa ingin membangun bersama untuk pelaku usaha kecil. Jadi saran mak goprak pakailah senjata pada saat yang tepat. Tak perlulah membunuh kecoa dengan bedil. Rugi!!!

Rasa keempat yang menguar, dari peristiwa kemarin dapat ditarik benang merah bahwa ketika segala sesuatu tidak diletakkan sesuai porsi yaaa jadinya yang nampak hanya panggung gemerlap bagi sang bintang, dan lampu redup bagi dayang dayang. Saya yakin sang bintang sudah ahlinya, tapi mungkin agak sedikit amnesia bahwa di luar banyaaaaak yang lebih ahli namun tak mendapatkan panggung atau mungkin memang mengambil sikap diam. Diam bukan karena ABAI, tapi diam karena tengah melangitkan doa atas kesewenangan yang tengah melingkupi di sebuah negeri entah.

Rasa kelima dan mungkin ini rasa pungkasan yang akan saya ceritakan di sini. Sumpaaaah saya “ngelih” berat setelah nulis status panjang yang “sangat berbobot” ini.

Jadi, adakah yang mau kirim bakwan jagung untukku?☺☺

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kulihat Pelangi Bersamamu

(Puisi) Tarian koruptor