Pada sepertiga harus terhenti, memberi ruang bayu dan tirta berkelana mengisi lorong-lorong, Aku abaikan! Nafsu tengah membekap, melahapkan semua ingin pada mulut-mulut lebar, penuhi labirin setiap saat, tinggalkan jejak tapak demi setapak. Tak peduli pada sebuah realita, bahwa pada rongga- rongga tersisa, seluruhnya berdetak menuju zenit, memuntahkan gumpalan lahar-lahar membelit. Tiga bulan dalam ketamakan, dia terus membungakan keinginan, meski sejenak telah memberi tanda nada bukan sebuah lapar hanya sebuah nafsu membesar. Kini di tiga bulan mengulum hawa, lemak darah meniti tangga puncak, menggumpalkan sesal pada aliran, sebagian menggelambirkan pada perut membusung, sebagian berkelana mencari jatidiri menjejalkan segala nyeri. Tertatih langkah kaki menahan derita, tetiba dunia menjadi gelap! Sebelum terkapar jatuh ke tanah, mata nanar, tengkuk serasa diikat batu, berat dan tinggalkan memar. Dalam ketidakberdayaan sayup terdengar petuah lama dari pad...