Sekeping Hati yang Tertinggal

 Aku tengah sibuk merapikan lembaran kertas yang berserakan di meja kerja saat si Devi karyawan baru bilang : “ Mbak, ada tamu.”

Ah.. pasti si Joko, kemarin dia janji mau menyetorkan hasil olahan data untuk melengkapi laporan yang tertunda.

Segera kulongok pintu dan mengedarkan pandangan di sekitar teras kantor. Tak kutemukan Joko di sana.

Aku berpaling ke Devi dan bertanya : “Mana si Joko Dev, aku lagi deadline nihh!! Entar kena semprot pak Bos lagi”.

“Tadi ada di depan kok mbak, nyari mbak Vina” : tukas Devi.

Kesal kubalikkan badan. Tak kutemukan sosok Joko diantara kerumunan orang yang datang ke kantor pagi ini. Dengan agak tergopoh kupencet nomor telepon untuk memastikan di mana posisinya. Setelah tersambung, kutempelkan handphone di telinga sembari mataku menari - nari mencari sosoknya.

Di seberang kudengar suara: “ Halo mbak, ada apaaaa? Sesuai janji jam dua aku setor datanya yaaa!”

Belum sempat mulutku mendamprat Joko, aku tertegun. Mataku bersirobok dengan kerling mata yang tak begitu asing, duduk di pojok teras kantor.

Tergagap kumatikan telepon saat Joko masih berteriak tentang data yang harus diolah. kuabaikan data itu. Lidahku terasa kelu.

**

“Sepertinya kita tidak melanjutkan hubungan ini Ndy “: ucap Vina saat itu.

“Kenapa, ada apa denganmu Vin, sepertinya aku tidak melakukan kesalahan apapun : Tukas Andy.

“Iya Ndy, kau terlalu baik, justru karena terlalu baik itulah aku tidak bisa bersanding denganmu”: lirih Vina menjawab.

“Vina, ada apa sebenarnya denganmu? Aku udah bilang Papi kalau aku akan melamarmu minggu depan”: Teriak andy.

Direngkuhnya tubuh Vina gadis yang sudah empat tahun menemani hari - harinya ke dalam pelukan : “ Kamu jangan takut, aku berjanji akan selalu menemanimu dalam suka dan duka”.

Mendengarnya, tangis Vina semakin menderu.

“Maaf Ndy, sepertinya kita hanya sampai disini. Bapak tadi pagi menerima pinangan mas Pras anak pak Bandi untukku.” : sedan Vina

“Aku sudah berusaha menjelaskan, tapi Bapak tetap memaksa. Aku tak berani melawan perintah Bapak Ndy” : derai air mata mengalir di pipi mulus Vina.

“Apa???” : teriak Andy, dilepas pelukannya dan digoncangkan bahu Vina.

“Jadi, aku terlambat” : ucap Andy.

Vina hanya bisa mengangguk lemah tak berdaya.

***

Tatap mata itu kembali mengerling jenaka. Pelan dia melangkah menuju ke arahku. Aku hanya diam terpaku.

“Halo, apa kabar” disorongkan tangannya di hadapanku.

Kikuk kuterima jabat tangan itu. Dingin terasa.

“Baik, dari mana” : Tanya Vina kaku.

“Dari rumah aja, entah sejak kemaren ada dorongan kuat di hati aku harus kesini”.

“Ada apalagi Ndy, sudah tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan”, tukas Vina untuk menutupi gugup yang menjalar.

“Tidak, memang tidak ada. Tapi aku ingin melihatmu. Sudah puluhan kali aku memasuki halaman kantormu, aku diam di pojok sini. Dan beberapa kali kulihat kau sedang belanja, sibuk dari satu ruang ke ruang yang lain. Kulihat sibuk di depan komputer sambil sesekali bersenandung, dan aku bahagia melihatnya. Sangat bahagia”.

“Tapi entahlah. Hari ini begitu kuat keinginan untuk menyapamu, tidak mengganggu kerjamu kan?” : ucap Andy ringan.

Duh buyar sudah segala konsentrasiku. Kupersilahkan Andy duduk di ruang tamu kantor. Tapi aku merasa tak jenak, banyak sekali orang lalu lalang di depan kami. Untuk memecahkan suasana kaku kuajak Andy keluar.

“Udah makan? Kita keluar yuk?” : pintaku

“Tapi kamu ninggalin kantor ga papa?” Andy bertanya.

“ Biarin, daripada disini jadi tontonan orang”: sambil kulirik temanku yang mulai beberapa kali menatap seakan menyelidik.

Berboncengan kami keluar dan di café Cangkir kami melabuhkan pantat kami.

Di sana aku bicara tentang apa saja untuk menutupi kegugupan dan kegalauan hatiku. Andy diam tak berbicara dan terus menatapku tak berkedip. Tiba - tiba dia rengkuh tanganku dan disorongkan kemulutku sendiri sambil berkata :

“Dari tadi ngomong terus. Aku tau dengan rasamu, tidak mungkin aku akan bicara yang tidak - tidak padamu”.

“Dalam diamku aku tau apa yang kau rasakan say”: Ucapan Andy menohok ulu hatiku.

Aku terkesiap. Tapi aku tak perduli, kutepis tangannya dan aku terus berbicara. Bicara tentang apa saja, bercerita tentang mas Pras suamiku, cerita tentang Nanda anakku , cerita tentang kegiatan kantorku dan semua tentang sekitarku.

Tapi tak kubuka sedikitpun cerita tentang diriku dan terutama batinku.

Sampai aku lelah sendiri.

Temanggung,0303limatahunlalu 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kulihat Pelangi Bersamamu

(Puisi) Tarian koruptor

Paling Jauh dan Paling Dekat Dengan Manusia?