Jenang apa Jeneng?

 

Dulu saya geli saat mendapat pertanyaan dari mbok Kotik, seorang ibu bersahaja ketika kami ngobrol ringan sembari beliau menampi beras di selepan Kali Aji milik mbokne.

Mbak jenengan akan  memilih “JENENG” apa “JENANG”?” Tanya mbok Kotik.

 Spontan saya pilih “JENANG” laaah. Apalagi mbok Kotik waktu itu membawa jenang lot kesukaan. Jenang lot adalah jajan pasar yang terbuat dari tepung beras ketan, gula dan santan yang diaduk menjadi kenyal tapi tidak alot.  Jenang lot buatan mbok Kotik mantap betuuul. Tanpa basi- basi  sembari ngobrol jenang itu habis di mulut saya. Hehehe.

 Begitu pula tiap berkunjung ke saudara dan mendapat suguhan saat kondangan, pasti saya akan mengambil jenang yang tersaji daripada kudapan  lain. Di Temanggung ada jenang lot.  Di Purworejo ada jenang sirat, di Garut ada dodol Garut, di Kudus ada jenang Kudus sinar 33, main ke Bandung dapat suguhan wajit Bandung, ke Lampung ada dodol duren dan lainnya buatan Ny  Wie. Hihihi si jenang selalu memikat hatiku. Dan ibu bersahaja itu hanya tersenyum penuh misteri.

Seiring berjalannya waktu, ada beberapa kali mendengar ungkapan pertanyaan  ““JENANG” atau “JENENG” . Dan ternyata  saat ini  saya memaknainya dengan rasa yang berbeda

Dulu dalam “kespontanan” ngobrol dengan mbok Kotik, saya memilih “JENANG” karena memang jenang itu makanan kesukaan. Bahkan saya nekat akan “meminta- minta” ke teman untuk membawakan jenang ketika mereka pulang kampung.  Namun kemaren saat mendapat “tantingan” , pertanyaan yang sama dari seorang,  saya mengendapkan pikiran dan akhirnya saya lebih memilih “JENENG”.

Mengapa?

Karena saya meyakini bila “JENANG”  itu adalah jatah yang pasti diberikan.  Tanpa kita cari, “JENANG” itu akan menghampiri kita karena memang sudah dijanjikan Allah bahwa semua makhluk di bumi pasti dijamin rezekinya. Hanya saja kita sebagai makhluknya tetap harus berikhtiar untuk mendapat jenang yang diharapkan.

Sedangkan ““JENENG”” itu perlu diupayakan. Meskipun Shakespeare berkata “Apalah arti sebuah nama”, namun seseorang memilih mempunyai “JENENG” atau nama baik yaa harus berbuat baik.  Pengen punya “JENENG” jelek yaaa berbuat maksiatlah, unfaedah, bertingkah laku busuk, pasti akan mendapat “JENENG” jelek. Lihatlah tayangan televisi,  saat aparat konferensi pers menangkap  pencuri. Meskipun  dalam satu frame, si aparat duduk di kursi  dan diwawancara dengan mata berbinar, sementara si pencuri bagai pecundang harus duduk di lantai  dengan  tangan diborgol. Menyedihkan bukan?? 

Tapi kita jangan terlalu serius saat melihat tanyangan konferensi pers artis atau pesohor dikeler aparat yaa. Mereka memang pelakon yang sempurna.  Jelas - jelas mereka ditangkap karena berbuat salah, masih ada saja media yang berlomba mewawancara dan pesohorpun bisa berakting maksimal. Ada yang menangis, merasa bersalah atau bahkan merasa menjadi orang yang terdholimi. Itu hak mereka karena mereka sudah mendapat “JENENG” yang entahlah diupayakan atau karbitan. 

‘Jeneng” atau nama harum itu akan langsung tergores atau bahkan diingat sebagai pecundang karena ulahnya sendiri, sedangkan jeneng akan tetap harum sampai ajal menjemput karena budi pekerti yang luhur pula.

Jadi, masih adakah yang mau kirim jenang untukku? Eh...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kulihat Pelangi Bersamamu

(Puisi) Tarian koruptor

Paling Jauh dan Paling Dekat Dengan Manusia?