(fiksi) Ini Tentang Nadlira



Namanya Nadlira, tubuhnya mungil, tak sebanding dengan nyalinya yang begitu besar. Anak bengal, itulah gelar yang ia dapatkan semenjak kecil, bahkan sejak ia masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak.

“Awas, aku mau main ayunan!” teriak Nadlira pada temannya yang baru saja memegang rantai ayunan. Seketika temannya menyingkir, merelakan ayunan tersebut dikuasai oleh Nadlira. Tak pandang bulu, semua harus tunduk padanya. Laki-laki atau perempuan harus menuruti kemauannya. Bila tidak, maka ia akan segera berlari ke rumah dan melaporkan kejadian tersebut pada emaknya. Yaa.. rumah Nadlira persis di depan TK dimana dia bermain riang.

Segera saja emaknya meninggalkan dagangan dan bergegas menuju TK tempat  Nadlira sekolah untuk mencari anak yang tidak mau mengalah dengan Nadlira. Ya Nadlira, harus selalu menang, begitu inginnya saat itu.

Nadlira memang tak punya rasa takut barang sedikitpun. Saat melihat Nyaik temannya dinakali Edi dan Hakim, segera saja Nadlira mendatangi dan tetiba memukul wajah Edi tanpa berdosa. Karuan Edi dan Hakim segera mengeroyok Nadlira. Seperti biasa dengan tangis meraung dia segera menghambur berlari ke rumah untuk melapor pada emaknya.

Bocah tomboy itu memang senang mengadu kepada emaknya, entah dia yang benar atau salah, emaknya akan selalu membela.

Kali ini adalah kali kelima Nadlira bolos sekolah sore. Di kampung Nadlira, sekolah sore atau madrasah diniyah atau orang bilang sekolah Arab wajib diikuti oleh anak  seusianya. Pagi belajar di SD Inpres dan siang dilanjutkan ke sekolah diniyah. Entah mengapa siang ini, kaki bersepatu cantik itu malah mengajaknya menuju pasar. Kemarin emaknya baru saja membelikannya sepatu baru, sepatu yang ia kenakan sekarang, sepatu yang dibeli di pasar ini. Di pasar ia banyak menemukan sesuatu yang baru dan menyenangkan – baginya. Suasana pasar yang riuh antara penjual dan pembeli membuat kesan tersendiri untuk seorang Nadlira. Senyumnya merekah, kepalanya mengangguk-angguk.

Ia menghentikan langkah pada penjual jenang gempol. Emak sering membelikan jenang gempol kesukaan sebagai oleh-oleh, juga di pasar ini, pasar yang sama. Pasar yang hanya berjarak beberapa ratus meter saja dari sekolahnya.

“Nggak sekolah, Nduk?” tanya penjual jenang gempol itu pada Nadlira.

Nadlira menggeleng, kemudian bergegas pergi setelah membayar semangkuk jenang gempol yang telah ia terima. Jenang gempol  hanyalah jajanan pasar yang terbuat dari tepung beras, dibentuk membulat dan dibungkus semacam bubur sumsum warna coklat, setelah itu dikucuri santan cair dari ceret kuning keemasan. Membayangkan saat santan itu dikucurkan di mangkok kecil dari ceret kuning itu, Nadlira berasa seperti tuan Putri yang tengah diladeni para dayang dengan ceret emas. Karena itulah Nadlira suka sekali dengan jenang gempol. Hanya Mak Nah satu satunya penjual di pasar itu.

Saat ini langkah kakinya menuju kali Brangkongan, rasanya siang hari memang waktu yang tepat untuk berendam di sana. Pandangannya tak berbelok, ia berusaha mengabaikan pandangan orang-orang sekitar yang mengenalnya. Tak merasa takut bila nanti ada orang yang akan melaporkan kejadian hari ini kepada bapak atau emaknya.

***

Nadlira tengah melepaskan mukena ketika bapak  mendekat ke arahnya. Kala itu sholat magrib berjamaah baru saja selesai dilaksanakan.

“Nduk, tadi belajar apa saja di sekolah sore?”

“Tadi pelajaran al-  khot [1], akidah dan imla [2], Pak,” jawabnya lincah.

Bapaknya mengulangi pertanyaan itu beberapa kali sembari mengelus-elus kepala Nadlira. Dan jawaban Nadlira tak berubah, masih sama dengan jawabannya yang pertama.

Semua tahu, bahwa bapaknya adalah salah satu pengurus sekolah sore tempat Nadlira menimba ilmu agama. Dan semua juga tahu, bahwa anak dari salah seorang pengurus sekolah tersebut nyatanya sangat sulit diatur.

“Bapak tadi menghadiri rapat di sekolah sore, dan Bapak nggak menemukan kamu di dalam kelas. Mulai besok, kamu pindah ke sekolah yang lain.” ujar Bapak pada Nadlira. Dari rautnya tak tampak kemarahan, namun dari ucapannya terdengar bahwa bapak begitu kecewa.
***

Masa remaja, kelakuan Nadlira belum juga berubah. Setiap malam yang seharusnya ia habiskan dengan membaca alquran dan mempelajari kitab kuning, malah ia habiskan dengan kegiatan nongkrong bersama teman-teman lelakinya. Temannya tidak hanya satu tapi pasti berombongan dan hanya Nadlira perempuan di gerombolan itu. Hal itupun tanpa sepengetahuan bapaknya, karena sang bapak tengah mengisi pengajian di masjid.

“Ke pasar malam yok?” ajak seorang teman kepada Nadlira dan teman lainnya.

“Yok, tapi aku nggak bawa duit.” ucap yang lainnya.

Nadlira tersenyum lalu berkata, “Udah, nggak usah mikirin duit, mau naik apa? Komedi putar? Kincir angin? Naik aja sepuasnya, nggak perlu bayar.”

“Kamu mau bayarin, Nad?” celetuk Aji memastikan.

Nadlira menggeleng. “Udah gampang, urusan nanti itu.”

Akhirnya kesepuluh anak tanggung itu memasuki pasar malam. Mereka beramai-ramai menaiki berbagai macam jenis permainan yang tersedia. Hingga seorang petugas kemudian mendapati mereka bermain tanpa membayar tiket terlebih dahulu.  

“Ampun, Pak.. Ampun..” teriak mereka satu persatu.

Petugas pasar malam tersebut menurunkan tangannya. Tampak sebuah benda yang disebut pentungan masih ada dalam genggamannya.

“Kapok nggak kalian?” tanya sang petugas. “Awas kalo berani datang lagi ke sini, saya laporin kalian ke orang tua kalian masing-masing,” lanjutnya.

Nadlira dan kesembilan temannya akhirnya dibebaskan, dengan kenang-kenangan berupa memar di sebagian tubuh mereka.

***
Beralih ke masa SMA, Nadlira memilih Pecinta Alam sebagai ekstrakurikuler. Sudah lama ia ingin mendaki gunung, namun tak pernah diizinkan oleh bapaknya.

“Pak, aku mau naik gunung. Rencananya besok bareng temen-temen Pecinta Alam.”

Bapak menggeleng, tanda bahwa izin tak didapatkan Nadlira.

“Lagi-lagi nggak boleh, pokoknya aku tetep mau naik gunung besok!” ucapnya keras kepala.

Bapak terlihat diam melihat tingkah anak perempuannya yang sulit diatur itu. Nadlira memang spesial, berbeda dengan saudara lainnya. Butuh perhatian khusus untuk menghadapi tingkahnya yang semakin menjadi itu.

Nadlira tengah menyiapkan perlengkapan mendaki di kamar, ketika emaknya datang menghampiri bapaknya yang sedang menikmati secangkir teh hangat di ruang tamu. Emak terlihat membujuk bapak, tak lama kemudian suara berat bapak memanggil namanya untuk segera datang kembali ke ruang tamu.

“Bapak mengizinkanmu naik gunung, asal jangan pernah tinggalkan sholat.”

Wajah Nadlira yang sedari tadi masam, seketika berubah menjadi berseri. “Makasih Pak, Mak,” ucapnya sambil mencium kedua tangan orang tuanya.

***

“Nggak nyangka Nad, kamu bisa lulus kuliah juga, cumlaude lagi!” ujar Rina, teman satu kost Nadlira, bangga.

Nadlira yang sedang melipat pakaian itu hanya nyengir menjawab perkataan Rina. Pikirannya melayang pada peristiwa-peristiwa yang telah ia lewati. Meneruskan sekolah di kota lain membuat Nadlira memilih untuk nge-kost yang juga berarti tinggal terpisah dari kedua orang tuanya.

Selama itulah dia merasa harus menebus segala kesalahannya, terutama dengan cara memberikan nilai terbaik bagi kedua orang tuanya. Dia sadar betul sikapnya selama ini. Bapak sama Emak pasti capek ngadepin aku. Batinnya. Bapak sedikitpun nggak pernah marah sama aku, tapi nggak pula memanjakan aku. Hanya saja Bapak selalu menanamkan “segala sesuatu itu didapatkan dengan usaha”. Lanjutnya dalam hati.

Esok merupakan hari di mana ia akan di wisuda. Segala persiapan telah Nadlira lakukan. “Hhmm, tinggal pergi ke salon deh, sekali kali dandan cantik ah! Mosok wisuda tetep  pake jeans belel kebanggaan,” ucap Nadlira bersemangat.

Kakinya sudah maju beberapa langkah dari kamar kostnya, ketika tiba-tiba saja, tetangga kostnya, Dodo datang menghampiri Nadlira.

“Besok ikut wisuda ya Nad? ” tanyanya pada Nadlira.

“Iya Mas, mau ke salon dulu nih.”

Selamat ya, aku kalah nih sama kamu. Mau dianter nggak?”

Nadlira mengangguk. Wajahnya merona seketika. Dodo, tetangga kostnya itu ternyata bukan hanya menemaninya ke salon, tapi juga sekaligus menyediakan diri sebagai pendamping, bahkan Dodo juga rela mengutang pada seorang teman demi menyewa mobil  untuk mengantarkan Nadlira wisuda esok hari.

Jiaaaahhh… tumben baik nih orang? Perasaan selama ini gak ada yang merhatiin. Nadlira mau jungkir balik, mau pulang malem, mau nongkrong di teras kost pas malam minggu sembari gangguin temen-temen yang diapeli. Selama ini tak ada satu cowokpun yang mendekat. Pun jika temen cowok nyari, mereka bergerombol datang ke kost dan nongkrong di teras atau malah jalan ke alun-alun kota.  

Pikiran aneh sempat merasuki hati Nadlira, tapi segera dienyahkan! Berhubung sedang butuh, tanpa pikir panjang Nadlira mengiyakan saja tawaran Dodo, mahasiswa Arsitektur yang sering berpapasan saat sholat magrib dan subuh berjamaah di masjid sekitar kost.

***

“Sepertinya orangnya baik, nggak bengal kayak kamu, Nad.” bisik kak Nas selepas acara wisuda selesai.

Nadlira hanya nyengir, tangannya menyikut perut kakaknya hingga dia berteriak. “Aduh!”

Tak berhenti di situ, kini kak Nas mengarah mata tajamnya ke arah Dodo, yang tengah berdiri persis di samping Nadlira. “Alhamdulillah, untung Nad ketemu kamu. Aku kadang takut kalo lihat Nadlira kumpul dengan teman-teman bengalnya. Aku titip Nadlira ke kamu ya, Do. Aku yakin kamu orang yang tepat untuk Nad,” ucap sang kakak setengah berbisik.

Dodo mengangguk yakin sambil tersenyum. Sementara Nadlira hanya kebingungan melihat pemandangan siang yang tetiba terasa gerah. Ada apa sih?? Aku gak ada apa-apa sama mas Dodo kok, kebetulan aja dia nawarin bantuan Kak! semprot Nadlira seketika.

Sorry Mas Do, Kak Nas emang usil dan ngeselin, ungkap Nadlira sambil menengok ke arah Dodo. Saat itu hati Nadlira berdesir melihat kilatan sinar mata Dodo yang teduh sembari tersenyum tipis.

“Biasanya yang usil siapa sih? Kok bisa-bisanya nyalahin Kak Nas yang pendiem itu? Kamu harus patuh dengan perintah Kak Nas, dan aku harus tetap menjaga amanah yang telah disampirkan ke pundakku,”  kata Dodo  lirih di telinga Nadlira.

Wajah Nadlira memerah, salah tingkah dengan kondisi yang tak disangka. Bisa mempersembahkan yang terbaik pada kedua orang tua untuk menebus kesalahan masa lalu aja udah membuat Nadlira lega.  Tetiba Tuhan berikan sesuatu diluar nalarnya dengan indah. Nadlira hanya bisa bergumam, “Terima kasih Ya Rabb.”


Kamus
[1] Al-Khot : menulis halus/kaligrafi
[2] Imla : menulis arab dengan didikte

Komentar

  1. Balasan
    1. ituuu karyamu nduk say. thanks yaa


      #beban utangku lunaaas

      Hapus
  2. Gitu deh yaaa... Ganti URL blog nggak woro-woro... 😬

    BalasHapus
    Balasan
    1. mbLIzz, lhaaa bijimana caranya mamerin URL blog baru, biar pengunjungnya melimpah kayak punya mbLizz. piye carane??


      Ini lagi tertatih tatih mbaaakk.. tolong...tolong...tolonggggg

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kulihat Pelangi Bersamamu

(Puisi) Tarian koruptor

Paling Jauh dan Paling Dekat Dengan Manusia?