Ahad Sore bersama Bapak
foto dokumen Pribadi, Masjid Putrajaya 2016
Kunikmati Ahad sore 17 Februari 2019 menjemput senja merembang bercengkrama dengan Bapak di teras rumah.
Bersama beliau, meski dalam
keterbatasan pendengaran menjelang 90 tahun usianya, saya masih bisa mereguk
ilmu yg bisa diambil hikmah. Kekadang harus teriak seperti orang marah, hanya
untuk mengulang pertanyaan, dan Bapak menyorongkan badan sembari menutupkan
satu tangan ke telinga kiri untuk mengumpulkan konsentrasi di telinga kanan
beliau yang masih agak berfungsi.
Sore itu, sembari menatap
kendaraan yang berlalu lalang Bapak tetiba berpetuah tentang khilafiyah.Segera saya keluarkan handphone untuk merekam apa yang Bapak ceritakan. Minggu lalu saat kami
sowan, Bapak menjawab tanyaku tentang rukyah. Kali ini tanpa ada tanya, Bapak langsung
ngebahas tentang khilafiyah.
Tradaaa...mungkin Bapak sudah
hapal, bila saya datang pastiii ada yg harus dijelaskan.
Kembali ke khilafiyah. Tentang
perbedaan jatuhnya Iedul Fitri ataupun Iedul Adha. Beliau menerangkan bahwa ada
ulama dalam menentukan jatuhnya awal
bulan dengan memakai hisab ( hitungan waktu), ada yang menggunakan hilal
(mengamati bulan muda terbit untuk menentukan awal bulan). Dengan cara yang berbeda tersebut, sangat dimungkinkan akan terjadi perbedaan penentuan awal syawal ataupun jatuhnya iedul Fitri dan Iedul Adha. Untuk iedul Adha sepertinya tidak begitu menjadi masalah, karena ada waktu dua hari untuk melakukan sholat iedul adha.
Yang menjadi persoalan saat menentukan 1 syawal. Hal ini dikarenakan berkaitan dengan halal dan haram. Menjadi haram orang tetap menjalankan puasa ketika sudah jatuh waktu 1 syawal. Jadi saat diperlukan kehati- hatian untuk menentukannya.
Yang menjadi persoalan saat menentukan 1 syawal. Hal ini dikarenakan berkaitan dengan halal dan haram. Menjadi haram orang tetap menjalankan puasa ketika sudah jatuh waktu 1 syawal. Jadi saat diperlukan kehati- hatian untuk menentukannya.
Duuh, saya yang lama gak mengaji
(ups..) agak terbata - bata mengikuti arah pembicaraan Bapak.
Melihatku panik, Bapak kemudian
berkata : "Tidak usah panik, ada umara yang bertanggung jawab, ikuti saja
apa yg menjadi keputusan pemerintah".
Dasar saya "pengeyel"
tingkat dewa langsung aja nyela : "Lhaaa berarti tipe tidak mau tholabul ilmu,
pasrah ajaa".
Bapak menukas : "Hiya,
kewajiban setiap muslim memang harus menuntut ilmu, dari ayunan sampai liang lahat.
Tapi tidak semua manusia dapat menguasai semua ilmu.
Contoh : Abu Hurairah alim
dalam ilmu hadist saja.
Ibnu Sina, paling menguasai
ilmu kedokteran dibanding ilmu lain.
Jadi tetaplah dijalurNya untuk
tetap beristiqomah mencari ilmu.
Duuh..terasa diaduk-aduk
emosiku antara malu, takut dan penasaran.
Bapak kemudian melanjutkan : "Sudah, ikuti saja Umaro
dan ingat Al Quran surat al mukminun 23 : ayat 62 yang mengatakan Allah tidak
akan membebani manusia di luar kesanggupannya......"
Njih Bapak, saya ikut aja, gak
mau ngeyel lagi.
Etapi Bapak,.....(tiba -tiba,
ngeyelku tertelan entah kemanaaaa)
Semoga mbah Murid diberi terus Kesehatan😊
BalasHapusAamiin..matur nuwun hastungkaranipun. Mugi pabjengan ugi pikantuk kesarasan.
Hapus