BENCI BAPAKKU
Mungkin diantara tujuh
bersaudara, saya termasuk anak “durhaka”, sekedar remah remah yang tidak bisa
dibanggakan oleh Bapak. Bila dahulu makne almarhumah semasa hidupnya memahami
“kelemahan” saya hingga saya pun bisa memahami makne dengan segala kebaikan dan
kelemahannya juga.Tapi tidak dengan Bapak, di mata Bapak saya adalah seorang
anak yang tidak layak diceritakan selain harus menyelesaikan masalah sendirian.
Dan enam anak selalu
membanggakan Bapak, tidak ada yang berani membantah apa yang Bapak katakan.
Saya tidak! Saya tetap berani menjawab bilamana apa yang dikatakan Bapak kurang
pas. Pernah suatu hari Mbakyu nomor tiga sampai bilang, “Bulik, kok tidak ada
takutnya dengan Bapak mbok jangan membantah, Bapak bilang apa dituruti”. Saya
langsung menyalak : “Lhooo kok dibilang
membantah to? Justru ini membuka diskusi panjang dengan beliau”.
Terbukti setiap kami sowan
minimal seminggu sekali sejak makne sakit hingga Bapak meninggal April lalu, Bapak
suka berdiskusi apapun dengan saya. Bahkan menceritakan tentang rasa yang
terpendam untuk seorang gadis berambut panjang anak kesayangan Bapak kost saat
beliau tugas di Ambon. (Kadang saya ngerasa bapak tidak mengharap saya yang di
depan beliau, tapi mengharap saudara lain yang sering Bapak banggakan, namun karena
hanya saya yang sowan dan membantah saja yaa hingga bapak cerita berulang)
hehehe. Bisa berjam - jam Bapak bercerita tentang kisah yang sama tentang masa
lalunya di Ambon, perjuangan sekolah di al Iman Magelang, beratnya sekolah di
SMP Kanisius Pendawa Magelang, perjuangan melawan penjajah bergabung tentara Hizbullah,
kuliah di Jakarta dan sepak terjang beliau mengembangkan pendidikan beserta
fitnah yang menimpa beliau semasa menjadi pegawai.
Kembali tentang saya harus
menyelesaikan masalah sendirian. Sejak SMP, kakak- kakak diharuskan kost untuk
mengejar mimpi. Sementara saya? Dari kelas 5 SD harus bertanggung jawab
mengurusi rumah tangga dari masak, belanja bulanan dan belanja harian meski
hanya sekedar membaca daftar belanja yang sudah dibuat.
Ada lagi “ kisah sedih”
saat lulus SMA. Waktu itu sedang trend bimbingan belajar untuk mendapat kampus
favorit dengan harga selangit. Kakak diizinkan mengikuti bimbel. Ketika hampir
lulus SMA saya minta izin, Bapak bilang tidak punya uang. Yaa saya mingkem dong!!!!
Tapi 2 tahun kemudian adik minta ikutan bimbel, diizinkan begitu saja selama
setahun kost di kota Yogyakarta. Kecewa kutelan sendiri. Saya merasa dibedakan
Bapak! Jadi inget saat SD, minta tas dan
sepatu karena sobek, dijanjikan nanti kalau sudah ada uang.Sementara beberapa
bulan kemudian, adikku minta tas. Langsung paginya dibelikan. Benih “kebencian” mulai tumbuh tanpa bisa
diredam.Tapi mau protes jelas tidak berani. Karena berdasar pengalaman, bila
adikku minta barang namun tidak segera diberi, dia langsung jatuh sakit. Begitu
berulang. Ketika saya coba pake “modus” tersebut untuk ikut bimbingan..eee… gak
mempan karena emang bapak lagi ga punya duit. Hehehe.
Termasuk saat harus
mengambil keputusan merawat makne saat jatuh sakit. Dari tujuh bersaudara, kenapa
tanggungjawab ditimpakan padaku untuk menemani. Bukan saya tak mau berbakti,
namun hanya ada ketakutan saya menjadi anak durhaka karena “mulut kasar” saya
saat hidup bareng orang tua. Dan saya menolak pulang ke rumah, Tapi saat itu
berjanji jam berapapun dibutuhkan Makne, saya siap. Terbukti saat itu hampir
setiap hari makne telepon dan saya menyediakan waktu untuk bercengkrama dengan
beliau. Minimal seminggu sekali kami mengagendakan sowan sampai Bapak berpulang
kemaren bulan April tradisi itu bisa kami lakukan.
https://idamoeriddarmanto.blogspot.com/2016/09/cara-elegan-ibu-menjemput-kematian-yang.html
https://idamoeriddarmanto.blogspot.com/2016/09/cara-elegan-ibu-menjemput-kematian-yang.html
Hingga pada suatu hari saya
sowan, Bapak mengajak bicara yang intinya saya harus ikut mengurusi Yayasan
Pendidikan Al Iman. Saat itu saya kembali protes.Kenapa saya lagi? Ngurus diri
sendiri aja saya ga becus kok disuruh ngurusin orang lain. Ada kakakku yang doktor
bidang pendidikan, tapi kenapa saya yang harus terjun karena otomatis akan
menghadapi “benturan” dengan pihak lain disebabkan ada beberapa “oknum” yang
menyalahgunakan wewenang. Tapi Bapak menggeleng dan bilang pelan - pelan aja. Huff..beban
itu terlalu berat. Hingga saat ini pun saya belum bisa berkontribusi penuh di Yayasan
Pendidikan Al Iman. Ada kebingungan apa yang harus saya lakukan selain
menghadiri undangan. Ada rasa sungkan dengan para senior di sana. Al Iman adalah tanggung jawab berat yang mau
tidak mau harus kupikul.
Lhaa hal sederhana saja,
akhir Desember 2018, Bapak jatuh sakit setelah pulang dari keliling mengunjungi
anak cucu. Pulang dari rumah sakit, ada beberapa saudaraku yang pulang. Saat ada
waktu luang, kami berencana melakukan anjangsana ke saudara jauh di wilayah Tieng
dilanjutkan dengan wisata ke Dieng Wonosobo. Pagi hari udah pada bersiap. Melihat
kami bersiap Bapak bertanya mau kemana? Ketika dijawab ke Dieng, Bapak langsung
ngendika Ida dirumah, nemenin Bapak kondangan di cucu Wo As. Pengen marah tapi
ya bagaimana lagi. Karena kosong satu seat,
Mas Aut kakak yang biasa menemani Bapak saban hari beranjak mandi untuk ikut ke
Dieng. Melihatnya Bapak langsung bernada tinggi. “Maskup juga harus menemani
kondangan karena saban hari berinteraksi”. Jadilah saya dan kakak nomor 4
manyun di rumah nemenin Bapak.
Selalu seperti itu, hal - hal
sepele seperti itu sangat mengganggu hingga menimbulkan “kebencianku” pada
Bapak. Setiap habis pulang nengok anak cucu ada beberapa kali pasti masuk rumah
sakit. Bersenang - senang disana dan “penderitaan” ditimpa pada kami disini. huff
Termasuk harus menemani kontrol
kesehatan sebulan kali ke RSU. Dulu saat mengantar Makne saya senang- senang
saja. Tapi lima tahun terakhir menemani kontrol Bapak setiap bulan, saya hanya
“sekedar” menjalankan kewajiban. Karena dalam hatiku selalu berpikiran bukan
saya yang diharapkan menemani Bapak disini, tapi saudaraku yang jauh yang
selalu diceritakan Bapak.
Pada akhir Desember 2018,
sepulang Bapak dari kunjungan ke anak kesayangan kondisi Bapak menurun dan
harus opname di rumah sakit. Menurutku selain Bapak kecapaian, juga karena obat
yang harus dikonsumsi Bapak tidak terkontrol. Tapi yaa, saya gak mau nyalahain
siapa - siapa. Toh anak Bapak banyak kan?
Sejak itu Bapak keluar masuk rumah sakit. Tradisi setor muka seminggu
sekali kami intens- kan menjadi
seminggu 2 kali.
Biasanya untuk rutinitas kontrol setiap bulannya, saya antri nomor pendaftaran, antri untuk mendapatkan nomor di poli spesialis penyakit dalam dan jam 9.30 Bapak saya aturi rawuh ke Rumah Sakit atau jam 08.30 bila harus periksa laboratorium. Di hari Rabu tanggal 16 Januari 2019, jatah menemani kontrol di RSU dengan periksa laboratoirum terlebih dahulu. Kebetulan kepala instalasi Laboratorium murid Bapak di MAN, sehingga udah kenal dekat. Lhaa hari itu Bapak udah sampai di depan laboratorium jam 08.15. lebih awal 15 menit dari janjian dengan saya. Wal hasil saya ditelpon temen temen laboratorium dan “dimarahi” pasien udah sampai kok yang nganter belum..Hahaha
Biasanya untuk rutinitas kontrol setiap bulannya, saya antri nomor pendaftaran, antri untuk mendapatkan nomor di poli spesialis penyakit dalam dan jam 9.30 Bapak saya aturi rawuh ke Rumah Sakit atau jam 08.30 bila harus periksa laboratorium. Di hari Rabu tanggal 16 Januari 2019, jatah menemani kontrol di RSU dengan periksa laboratoirum terlebih dahulu. Kebetulan kepala instalasi Laboratorium murid Bapak di MAN, sehingga udah kenal dekat. Lhaa hari itu Bapak udah sampai di depan laboratorium jam 08.15. lebih awal 15 menit dari janjian dengan saya. Wal hasil saya ditelpon temen temen laboratorium dan “dimarahi” pasien udah sampai kok yang nganter belum..Hahaha
Hari Rabu, 6 Februari 2019
ditelepon mas Aut bila Bapak diare tak terhenti. Segera saya terbang ke rumah
Ngadirejo dan membawanya ke Puskesmas untuk pertolongan pertama.
Tapi beberapa hari
perawatan di Puskesmas tidak ada perbaikan hingga hari Jumat 8 Februari 2019
saya menandatangani pernyataan paksa pulang dan segera saya larikan ke RSUD
Temanggung. Mendapat penanganan dari Dr Nugraha Daryanto spesialis Penyakit
dalam, Senin 12 Februari 2019 Bapak diizinkan
pulang.
Tanggal 20 Februari 2019 jatah
kontrol rutin ke dokter Penyakit dalam. Tergopoh pagi saya antri nomor dan hingga
jam yang telah disepakati kok bapak belum tiba, deg - degan rasanya. Tiba tiba
telepon berdering. Mas Bojo mengabarkan kalau Bapak pergi ke Manding sendiri
tanpa pendamping,dan tengah disajikan teh yang belum sempat disentuh Bapak
karena saking panasnya. Begitu saya kabarkan udah waktunya bapak diperiksa, Bapak
minta dianter mas bojo ke RSU.Ternyata itu merupakan sajian teh terakhir yang
bisa kami persembahkan untuk Bapak di rumah kecil kami.L
pada Sabtu cerah tanggal 9
Maret 2019, ditemani Ale kami sowan Bapak dan mendapati tengah tiduran di
kamar. Setelah mengucap salam dan mencium tangan Bapak, Kami memaksa bapak
untuk bangun dari tempat tidur karena sudah beberapa hari Bapak tidak bisa
dahar dan hanya berbaring saja di kamar. Saya tawarin Bapak segelas jus jambu dan pelan diminum hingga tandas satu gelas dan
bilang enak sekali. Setelah itu saya
tuntun Bapak keluar kamar dan duduk berdua di ruang tamu. Meski terlihat tidak
bersemangat, Bapak tetap kuajak berjemur di samping rumah.
Berjemur yang terakhir |
Diskusi Sabtu siang itu
tersendat karena Bapak nampak kelelahan dan minta ditemani ke kamar.
Ternyata moment tersebut merupakan diskusi terakhir kami yang kurang seru seperti biasanya. Bapak tiduran di kamar dan sore hari diriku pamit pulang.
Rabu tanggal 13 Maret 2019, telepon berdering. Kulirik handphone dan nomor kakak ipar terpampang di layar hp. Ogah - ogahan kuangkat dan terdengar suara mbak JUm agak tercekat.
“Ada apa mbak?”
“Bulik, barusan Bapak
ngendika, baju di kamar atas di rumah Kauman minta dibersihkan”.
Deg..
Aku menukas ; “Minta
dibawain baju ihram mbak?” .
Dulu, seperti makne
almarhumah yang berpesan baju ihram yang telah dicuci dengan air zamzam di
masjidil haram agar dikenakan saat Makne wafat, Bapakpun pernah berpesan, bila
ihram saat Bapak haji dijadikan sebagai kain kafan bila meninggal.
“Hiya bulik,” : mba Jum
menjawab sembari menangis.
Sore hari sepulang
beraktifikas ga pakai basa basi, segera saya tancap gas ke rumah Kauman Parakan, naik
ke kamar Bapak di lantai dua dan kubuka almari. Di pojokan atas kutemukan
onggokan ihram Bapak, sedikit bau karena bertahun tersimpan di lemari. Segera
kularikan motor butut ke Ngadirejo dan saat Bapak melihatku, Bapak menanyakan
baju ihram. Segera kusodorkan dan bilang, “dicuci dulu ya mbah, biar wangi”.
Cerita dan pengalaman rohani
saya setelah menyerahkan baju ihram, menemani bapak sampai berpulangnya ke
Hadlirat Allah akan menjadi satu kisah yang akan saya bagikan kelak. Yang jelas
pada hari Selasa tanggal 26 Maret 2019, sore menjelang magrib, di depanku dan
mbak Dur Bapak lirih berbisik terasa berat sekali. Apa yang tidak ikhlas?
Tangis saya meledak. Di depan mb Durrul (yang kebetulan satu frekuensi dengan
saya beliau rela hati mengambil cuti dari pekerjaan untuk menemani Bapak dan
memberi kekuatan mental pada saya), saat itu saya bilang : “Bapak, saya ikhlas,
saya selalu bilang membenci Bapak, tapi sejatinya saya mencintaimu. Saya siap
menjalankan apa yang menjadi amanatmu semampu saya .Maafkan segala kesalahan
saya Bapak”.
Bapak hanya diam saja
bahkan mencari Mas Aut. Saya merasa hancuuur, merasa kembali tertolak. Tapi
ternyata , Bapak mencari Mas Aut hanya menanyakan apakah zakat penghasilan
sudah dikeluarkan? Kami bertiga langsung berbagi tugas, mas Aut membayar zakat,
mba Dur menyelesiakan fidyah (yang kami lupa sudah terbayar atau belum hutang
puasa 15 hari ramadhan lalu karena masuk rumah sakit juga), sedangkan saya
mendampingi Bapak.
Mungkin karena memikul
tanggung jawab berat atau memang gesture,
sedari dulu kulihat Bapak jarang tersenyum manis, dan itu diturunkan padaku.
Teramat susah
mempersembahkan senyum manis, pasti adaaaa saja beberapa gigi depan menganggu
sehingga tak bisa terlihat manis. Hihihi.peaceee.
Etapi, di Ahad pada 7 April
2019 saat memandikan untuk terakhir kalinya, saya terkesiap!! Terlihat dua sudut bibir tertarik ke atas. Bapak
tersenyum maniiis sekali. Banyak yang menyaksikan Bapak tersenyum sesaat
setelah dimandikan dan diangkat ke meja untuk dikafani.
MasyaAllah, Bapak terlihat senyum
bahagia. Dan kami yang melihatnya ikut tertular bahagia.
Mungkin Bapak bahagia karena
akan bertemu Makne yang telah mendahului lima tahun lalu.
Atau mungkin bahagia akan
bertemu pujaan hati yang gelora cintanya diendapkan di dasar hati. Wanita muda
dari tanah timur telah menggetarkan hati Bapak. Mungkin Bapak bercerita juga
kepada enam saudaraku. Tapi saya selalu menemukan kilat bahagia di mata Bapak
saat menceritakan wanita muda berambut sebahu ditutup kerudung yang pernah tak
sengaja bersitatap mata di dapur kost. Yaaa wanita muda tersebut putri pertama
bapak kost di tanah timur berdarah Ambarawa.
Meskipun restu orang tua
terutama bapak ibu kost menyertai, namun Allah tidak mentakdirkan mereka
berjodoh.
Jodoh bapak adalah eMakne,
seorang wanita muda yang dikenalkan orangtuanya. Semata birrul walidain dan
bersandar pada Allahlah, Bapak mampu bertahan mengendapkan gelora itu.
Entahlaaah..
Yang pasti terlihat Bapak
tersenyum manis, mungkin juga saking bahagianya disambut para bidadari bermata
jeli.
Saya yakin itu.
Saya gak mau komen apa-apa..
BalasHapusSaya menikmati saja tulismu..seperti saya sendiri yg menulisnya.. 😊😊
OmJek.. rerata punya rasa yang sama untuk orang tua kita yaa.
Hapusmakasih berkenan meninggalkan jejak dimarih om
Tumpah laah air matakuuu, Makneee huhuhu
BalasHapussamaaa.. Makasih udah berkenan abaca dan ninggalin jejak yaaa
Hapuskeren ini mbak ida 😍👍🏼
BalasHapus