Puisiku Menjadi Lagu. Mungkinkah?

 

Saya sering mendengar berita tentang sisi positif dan negatif penggunaan Artificial Intelegent (AI) dalam kehidupan sehari - hari. Namun belum berminat menggunakan hingga pada pertengahan Desember 2023 saya membaca sebuah opini di koran Kompas tentang manfaat dan bahaya kecerdasan buatan tersebut serta menampilkan sebuat alamat OpenAI.com/CHATGPT. Iseng mendaftar dan terlintas di pikiran saat itu ingin membuat puisi dengan bantuan AI. Begitu mengetik kata “Secangkir Teh”, tidak sampai tiga menit muncullah deretan kata seperti puisi tanpa harus memeras otak dan mengolah rasa di hati seperti yang saya sadur di bawah ini:

Secangkir Teh di Pagi Hari

Setitik embun di ujung daun,
Menyapa pagi yang baru bangun,
Secangkir teh kuangkat perlahan,
Menghangatkan jemari yang masih dingin.

Aromanya lembut, mengalun perlahan,
Membawa damai ke dalam dada,
Seperti bisikan lembut sang pagi,
Mengiringi langkah awal hari ini.

Seteguk tenang, melenyapkan gelisah,
Mengalir hangat dalam hati yang resah,
Rasanya manis, sedikit pahit,
Seperti hidup, penuh cerita yang tak terhitung.

Di atas meja, cahaya mentari bermain,
Menyinari cangkir yang sederhana,
Ah, betapa indahnya momen ini,
Secangkir teh, teman sunyi di pagi hari.

Dalam keheningan, kuhirup perlahan,
Setiap teguk menyimpan kenangan,
Pagi pun tersenyum pada dunia,
Dan aku siap menghadapi segala.

Lereng SuSi, Desember 2023

Bagi sebagian orang yang jarang memainkan aksara menjadi puisi, sekilas pandang deretan kata di atas menampakkan sebuah puisi dengan rima indah dan mengesankan. Saya membayangkan andai di sekolah, anak didik mendapat tugas membuat puisi atau tugas membuat karangan cerita dari guru Bahasa Indonesia, dengan “kecerdasan buatan” anak langsung menggunakan alat tersebut dalam menyelesaikan tugas dan akan mendapat nilai dari guru. Sangat mudah tanpa harus menggunakan kecerdasan natural yang diberikan Tuhan maupun mengolah rasa yang hanya dimiliki oleh manusia. Memang di era serba digitalisasi ini kita harus melek tehnologi agar tidak ketinggalan atas nama modernisasi. Tapi menurut saya, di dunia pendidikan sebaiknya penggunaan Artificial Intelegent harus dibatasi, bukan sebagai alat pokok dalam pembelajaran namun hanya sebagai alat bantu saja. Diperlukan regulasi untuk mengontrol secara ketat dan monitoring dari guru agar AI tidak digunakan untuk menyelesaikan tugas sekolah yang menjadi kewajiban siswa di sekolah.

Kembali pada tema menciptakan karya sastra baik puisi, cerita pendek, fiksi maupun segala karya sastra dengan menggunakan AI memang sah sah saja dan tidak menodai. Seperti karya puisi “Secangkir Teh” yang saya sampaikan di atas tercipta hanya dalam hitungan menit. Akan tetapi apabila kita membaca ulang kembali akan terasa bahwa deretan kata pada puisi tersebut hambar, tidak ada rasa, apalagi ruh yang hendak disuarakan dari sebuah puisi nyaris tidak keluar.  Karena kurang greget, akhirnya saya tidak menggunakan lagi OpenAI.com/CHATGPT hingga pada suatu hari pada bulan Agustus 2023, mengikuti mini wokshop musikalisasi puisi menggunakan AI Kerjasama Satupena Jateng dengan Satupena DKI dikomandoi Nia Samsihono di Rumah Pohan Semarang.

Di workshop tersebut Nia menyegarkan ingatan bila puisi dan nada berjumpa menghasilkan karya. Sedangkan Dwi Sutarjantono mengenalkan aplikasi Suno.com. Dwi menjelaskan tahapan cara menggunakan aplikasi tersebut dan meramunya menjadi sebuah video. Salah satu puisi lama saya untuk memperingati enam belas tahun pernikahan berjudul “Rasa yang Kupintal” saya kirim ke panitia sebagai ujicoba pada workshop tersebut.


 Rasa yang kupintal

IdaMoerid Darmanto

 

Pada gemuruh rasa

Endaplah di relung terdalam

Bukan untuk diumbar

Hanya sekedar penggugah jiwa terperam

*

Pada gelegar rasa

Kututup dengan seksama

Agar tak pekakkan lara

Yang kerontang dalam jiwa

*

Pada selubung rasa

Tak koyak terbalut masa

Dari terbenamnya bintang

Hingga lembayung senja menjelang

*

Pada bilur bilur rasa

Kupintal dengan sepenuh jiwa

Antara torehan ancala cita dan asa

Dalam endapan senandung penuh makna

Lereng Susi, Juli 2015


Hasil karya dari Artificial Intelegent tersebuta da beberapa kelemahan.Terutama artikulasi kurang jelas pada beberapa kata, apalagi bila kata tersebut terdiri dari tiga suku kata, menjadi tidak jelas pengucapannya. Namun jujur saja hasil perjumpaan kata, nada tetap asyik dinikmati, apalagi dibumbui dengan video yang keren. Gak percaya? Intip aja di https://www.youtube.com/watch?v=ATej8JMZuT0 . Tuuuh asyik kaaaan!

Dengan rasa penasaran, sesampai di rumah akhirnya saya mencoba aplikasi tersebut. Berhubung sudah tidak muda lagi, yaaa butuh proses lama untuk mempertemukan kata, nada dan video dalam satu karya. Dalam hal musikalisasi dengan aplikasi Suno.com masih terasa mudah karena saya bisa memunculkan rasa sesuai pilihan, akan beraliran pop, rock, jazz atau apapun itu kita yang menentukan. Tapi pemilihan video sangat membutuhkan ilmu lebih. Beda bila anak muda yang sudah terbiasa main aplikasi ya! Hasil otak atik aplikasi Suno dan Capcut untuk menghasilkan video, bagi saya pribadi sangat memuaskan karena bisa mendokumentasikan apa yang saya rasakan. Saya bisa mengekspresikan rasa penghormatan pada para pahlawan yang gugur dari puisi Tragedi Nanggala, rasa syukur tak terkira pada pasangan atas kesabarannya dan mengeluarkan rasa cinta pada para sahabat dalam sebuah karya berjudul “Rembulan Merindu” di https://www.facebook.com/Ida.moerid.Darmanto/videos/1051655693225631

Menurut saya hal tersebut sangat menyenangkan dan menjadi katalisator saat stress mendera. Jadi bisa dipahami bahwa AI pun bisa memberi sisi positif bagi kehidupan. Marilah kita bijak dalam menggunakan Artifical Intelegent, ambil manfaatnya dan tinggalkan manakala alat tersebut bukan membantu kehidupan kita, tapi malah menambah derita. Jangan sampai yaaaa.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kado Terindah di Usia Matang Manggis

(L)GBT HADIR KEMBALI

Secuil Kisah Tentang Bebrayat Ageng PERMADANI Kab Temanggung