Postingan

Petrikor

Gambar
  f oto diambil dari Shareisme.blogspot.com Inginku menghidu Aroma harum ambigu Pada tanah kering, sewaktu Terkena air hujan   berlalu Petrikor mengajakku berkelana Mengusir   sejumput candala Dari kerlingmu laksana mangata Merelung lakuna, Gairah dalam renjana Kamis, 28 Feb18.

Kisah si Nenek Buta

Gambar
Gambar diambil dari www. puisi.com Cerita ini pernah saya tulis di blok bersama sekitar akhir 2014. Ketika membuka arsip di komputer, membaca ulang cerita tentang kelembutan hati Rasulullah, mendadak ingin menayangkan kembali di blog pribadi ini.  Semoga kita dapat mengambil hikmah, pun dari artikel usang yang terselip di arsip paling pojok bawah.  selamat membaca. *************************************************************************

Ahad Sore bersama Bapak

Gambar
foto dokumen Pribadi, Masjid Putrajaya 2016 Kunikmati Ahad sore 17 Februari 2019 menjemput senja merembang bercengkrama dengan Bapak di teras rumah. Bersama beliau, meski dalam keterbatasan pendengaran menjelang 90 tahun usianya, saya masih bisa mereguk ilmu yg bisa diambil hikmah. Kekadang harus teriak seperti orang marah, hanya untuk mengulang pertanyaan, dan Bapak menyorongkan badan sembari menutupkan satu tangan ke telinga kiri untuk mengumpulkan konsentrasi di telinga kanan beliau yang masih agak berfungsi. Sore itu, sembari menatap kendaraan yang berlalu lalang Bapak tetiba berpetuah tentang khilafiyah.Segera  saya keluarkan  handphone untuk  merekam apa yang Bapak ceritakan. Minggu lalu saat kami sowan, Bapak menjawab tanyaku tentang rukyah. Kali ini tanpa ada tanya, Bapak langsung ngebahas tentang khilafiyah. Tradaaa...mungkin Bapak sudah hapal, bila saya  datang pastiii ada yg harus dijelaskan. Kembali ke khilafiyah. Tentang perbedaan jatuhnya Iedul Fitri atau

Ketemu Yusuf Kalla

Gambar

Sejuk (kembali) Memeluk

Gambar
Menguak pagi, Aku menghidu Temanggung kembali Bersama desiran angin surgawi Setelah hujan semalam membasahi bumi Aku lupa, kapan terakhir bayu menghampiri kami Di lereng SIndoro Sumbing bersemi Sekian hari kami berpeluk hawa panas tinggi Bersebab   cuaca beranomali Gerah tak terbantah, Barangkali langit tengah membelah Lapisan ozon   merekah Meniupkan hawa panas dari negeri berantah Mungkin untuk pengingat kita Bahwa bumi harus terus dijaga Pohon - pohon tegak sebagai saka Hingga angin meliuk diantaranya penuh suka . Menghembuskan kesejukan tak berjeda. #mendung pagi di lereng Susi, 11 Nov   18

Selamat Hari Santri Buah Hatiku

Ini hanyalah sepenggal kisah usang. Tentang sebuah rasa seorang Emak yang harus berpisah dengan buah hati dalam pengembaraan mencari ilmu. Si sulung dengan keinginan kuat untuk terus menimba ilmu, setelah lulus setingkat Tsanawiyah atau SMP mencoba peruntungan dengan mendaftar di Mansa Yogya dengan harapan tidak perlu pulang di kampung halaman. Namun egoku mengalahkan logika. Dengan rasa masih ingin terus memeluk mereka dengan terpaksa si sulung melanjutkan SMA di desa. Disusul adiknya satu tahun kemudian. Berhubung lagi hangat - hangatnya peringatan Hari Santri, kucoba memuat ulang tulisan lama yang tak akan pernah usang. Selamat membaca. ************** Tanggal 22 Oktober oleh Pemerintah Indonesia telah ditetapkan sebagai Hari Santri.   Penetapan tersebut berdasar dari niat dan semangat untuk menegakkan kemerdekaan melalui Resolusi Jihad oleh KH Hasyim Asy ari pendiri organisasi Nahdatul Ulama untuk membendung Agresi Belanda ke II. Kata santri memang khas Indonesia

sumpah Bhisma

Bermula dari niat suci Hindari perpecahan Hastina nagari Bhisma nan sakti mandraguna berjanji Takkan menikah seumur hidup sang Resi Jaga keturunan tak selisih dengan Saytawati Ibunda Citranggada dan Wicitrawirya,, si adik tiri Menangkan sayembara di kerajaan Khasi Boyong Ambika, Ambalikha dan Amba tiga putri dewi Dewi Amba jatuh hati pada Resi Bhisma bidikkan senjata sakti Sekadar takuti Dewi tuk pegang janji Panah melesak ke dada sang Dewi. Dalam pelukan si mandraguna Berucap jiwanya cintai Dewi Amba Sukma Dewi menari riang menuju nirwana Berjanji akan jemput di suatu masa Bhisma sanggupi tuk tebus dosa Dalam pertempuran, Bhisma berpantang, :takkan serang orang yang tak bersenjata :takkan serang orang yang ketakutan :takkan serang orang yang menyerah :takkan serang orang yang hanya miliki  satu anak lelaki :takkan serang orang yang mabuk :takkan serang seorang wanita. Bhisma, “yang sumpahnya dahsyat” enggan bertarung jalang